Social Icons

Pages

Sunday, 1 May 2016

WUDHU ALA RASULULLAH SAW










NGAJI FIQIH  WUDHU ALA RASULULLAH SAW



PENDAHULUAN
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”( Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal. 57/III, Mesir.)
Dari ayat dan petikan tafsir di atas dapat diambil kesimpulan bahwa syarat diterimanya suatu ibadah adalah :
1. Ikhlas, yaitu  “kesesuaian amalan bathin (hati) seorang hamba dengan dhohirnya/anggota badannya (Madarijus Salikin oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah hal. 91/II) .
2. Ittiba, yaitu mengikuti apa yang beliau perintahkan/syari’atkan merupakan salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan”( Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 98, terbitan Daruts Tsuraya, Riyadh).
  
PEMBAHASAN
DALIL WUDHU
  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ..”.(QS. AL MAIDAH, 6)
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa rukun wudhu itu ada empat dan ditambahkan lagi oleh para ulama dengan niat dan tertib. Maka, rukun wudhu adalah sebagai berikut:1. Niat, 2. Membasuh muka, 3. Membasuh kedua tangan hingga siku, 4. Mengusap kepala, 5. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki &  6. Berurutan.
Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.(HR. Bukhari & Muslim)

PENTINGNYA WUDHU
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
لَاتُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِ كُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّي تَوَاضَأَ
“Tidak akan diterima shalat salah seorang di antara kalian apabila ia berhadats, hingga ia berwudhu’.” (HR. Muslim)

HAL-HAL MENGENAI WUDHU
1)     Mengenai Niat                
 “Niat adalah maksud yang diinginkan dari perbuatan. Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya( Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah (691-751 H), dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon.).
Ibnul Qayim (661-728 H) rahimahullah mengatakan, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal wudhu tidak pernah mengucapkan "nawaitu lirof’il hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats …)". Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yg mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat baik dengan sanad yg shahih maupun dha’if (lemah) yg menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi." (Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/196, cetakan ke-17, tahun 1415 H).
.Lafadz niat sangat masyhur ditunjukan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yg masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah mewajibkan untuk melafadzkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yg keliru dalam meng-interpretasi-kan perkataan Imam Syafi’i dalam kitab Al Um-nya yakni redaksi sebagai berikut:
ذا نوى. حجا أو عمرة أجزأه و إن لم يتلفظ، و ليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
"Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafadzkan, sedangkan yg dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir". (al Majmuu’ II/43)
An Nawawi (631-676 H) (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: "Beberapa rekan kami berkata: "Orang yg mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yg dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir." (al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100).
Ibnu Abi Izz Al Hanafi (731-792 H) berkata : "Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafadz niat. Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya di hati. Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafadzkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullah berkata : "Itu tidak benar" (Al Itbaa’ :62)

Mari kita mencontoh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai teladan,
"Sesungguhnya shalat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu’ dan melakukan wudhu’ sesuai ketentuannya, lalu ia mengucapkan Allahu Akbar." (Hadits diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Apabila engkau akan mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu lebih dulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihram." (Muttafaq 'alaih).

2)     Mengenai Membaca “Bismillahirahmanirahim” Sebelum Wudhu
Dalil :
لَاوُضُوءَلِمَنْ لَمْ يَذْكُرِاسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
 “Tidak ada wudhu (tidak sah) wudhunya seseorang yang tidak menyebut nama Allah.” (HR. Abu Dawud dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
yang menunjukkan wajibnya dihilangkan oleh sebuah ayat yang berbunyi :
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (al-Maidah : 6)
Allah tidak menyebutkan pada ayat ini membaca Basmalah  ketika berwudhu. Begitu juga pada hadits-hadits yang menerangkan tentang wudhunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak disebutkan membaca Basmalah ini menunjukkan hukumnya sunnah.

       3)    Mengenai Mendahulukan yang Kanan
       Dalil : Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya sangat menyukai mendahulukan yang kanan dalam hal mengenakan sandal, bersisir,   bersuci, dan dalam segala macam urusan beliau.” (HR. Bukhari)
       4)    Mengenai Membasuh kedua telapak tangan
       Dalil :
     “Kemudian beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali”. (HR. Mutafaqun       ‘alayh dan Abu Daud)

       5)    Mengenai Berkumur-kumur dan menghisap air ke hidung
       Dalil :
     Jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah” (HR. Abu Dawud,                            dishahihkan       oleh Imam Al Albani).
Ibnul  Qayyim menyebutkan,
“Ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah)”.

6)    Mengenai Membasuh wajah dan menyela jenggot
Dalil :

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَل
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu apabila berwudhu maka beliau mengambil air dengan telapak tangannya kemudian dia masukkan ke bawah dagunya dan menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut. Lantas beliau mengatakan, “Demikianlah yang diperintahkan oleh Rabbku ‘azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/223] as-Syamilah)
Menurut Ibnu Katsir, "Batasan wajah menurut para ahli fiqih adalah, 'Panjang, antara tempat tumbuhnya rambut, kepala gundul tidak dianggap, hingga ujung dagu, sedangkan lebarnya antara kedua telinga." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/47)

7)    Mengenai Membasuh tangan hingga siku
Dalil :
Habban bin Wasi’ menuturkan bahwa bapaknya menceritakan kepadanya :
Suatu ketika dia mendengar Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Mazini radhiyallahu’anhu teringat bahwa dahulu dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu. Ketika itu, beliau berkumur-kumur kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung). Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya tiga kali demikian juga yang sebelah kiri tiga kali. Lalu beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa air yang dipakai untuk membasuh tangannya tadi. Dan kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga rata dan bersih. Abu Thahir mengatakan: Ibnu Wahb menuturkan kepada kami dari Amr bin al-Harits (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
       8)    Mengenai Mengusap kepala dan kedua telinga
       Dalil :
Dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau membasuh kedua kakinya (HR. Bukhari)
Kemudian dalam hadis yang lain :
“...............Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam timba itu dan mengambil air untuk mengusap kepala dan kedua daun telinganya, Dia membasuh (mengusap) bagian dalam kedua telinga itu dan bagian luarnya, dia melakukan itu hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya, lalu dia berkata, “Manakah orang-orang yang bertanya mengenai wudhu tadi? Demikian itu tadi cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku saksikan” . (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/186] as-Syamilah)
Kemudian hadits
الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
Dua telinga adalah bagian dari kepala.”(HR. Abu Dawud)

Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini.
Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammembasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.”

9)    Mengenai Mengusap leher

Sebagian ulama berpendapat  mengusap leher ketika berwudhu itu sunnah, dan ini merupakan Madzhab Hanafiyah, pendapat sebagian ulama Syafi’iyah (Ibnu Al-Qaash), dan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. (lihat: Raudh Thalibin 1/61).
Adapun kebanyakan ulama berpendapat bahwa mengusap leher dalam wudhu bukan merupakan sunnah dalam wudhu, dan ini merupakan PENDAPAT YANG SHAHIH. Bahkan sebagian ulama madzhab hanafiyah menganggap bahwa mengusap leher ini adalah bid’ah. (lihat: Syarh Fath Al-Qadir: 1/36). Namun madzhab malikiyah hanya menganggapnya sebagai amalan makruh. (lihat: Hasyiah Al-Dasuqi: 1/103). Adapun yang berpendapat sunatnya mengusap leher, maka mereka berdalil dengan beberapa dalil, yaitu:

Pertama:  HR Ahmad dalam Musnadnya (3/418): Dari Kakeknya Thalhah, dari ayahnya, “bahwa ia melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengusap kepalanya hingga sampai kebawah lehernya dan bagian setelahnya, beliau memulainya dari atas lehernya sebanyak satu kali usapan”.
Namun hadis ini sanadnya lemah, tidak bisa dijadikan dalil, karena dalam sanadnya terdapat rawi bernama Al-Laits bin Abi Sulaim, Dalam Al-Taqrib (5686) Hafidz Ibnu Hajar menyatakan bahwa: “Ia shoduq (dari segi agama), namun hafalannya sering kontradiksi, sehingga antara riwayatnya yang shahih dan tidak bisa dibedakan, olehnya itu riwayat hadisnya pun ditinggalkan”.
Kedua: Sebagaiman hadits yang disebutkan pada bagian mengenai mengusap kepala.
 Ketiga: HR Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan sebagai berikut :
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu dan mengusap lehernya, maka ia tidak akan dibelenggu dengan rantai (neraka) dihari kiamat kelak”. Dalam kitab “Al-Badr Al-Munir (1/38) Ibnu Al-Mulaqqin berkata: bahwa hadis ini “gharib (lemah), dan saya tidak mengetahuinya kecuali dari ucapan Musa bin Thalhah, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Gharibnya”. Artinya; Sanad hadis ini salah, yang benar adalah hanya ucapan sebagian salaf, dan bukan hadits. Imam Nawawi berkata dalam Syarah Muhadzab dan kitab lainnya: “hadis ini palsu”. Ibnul-Qayim juga berkata: “Tidak ada hadis shahih satupun dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang pengusapan leher ketika wudhu”. Zaad Al-Ma’aad (1/195).

10)    Mengenai Membasuh kaki hingga mata kaki
          Dalil : telah disebutkan di atas
         Membasuh kaki harus sempurna tidak cukup hanya diusap tetapi di gosok            agar terhilangnya najis yang menempel.
          Rasulullah bersabda :
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, dia berkata:
تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنَّا فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الْعَصْرَ فَجَعَلْنَا نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari rombongan dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Kemudian beliau berhasil menyusul kami sementara waktu ‘Ashar sudah hampir habis. Kami pun tergesa-gesa berwudhu dan hanya mengusap kaki kami. Maka beliau pun berseru dengan suara yang tinggi, “Celakalah tumit-tumit yang tidak terbasuh air karena ia akan terkena panasnya api neraka. Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

   11)         Mengenai Do’a-do’a yang dibaca ketika berwudhu
  Dalam kitabnya Al-Adzkar, Imam Nawawi menerangkan bahwa dalam wudhu         tidak ada doa yang berasal dari Nabi SAW kecuali apa yang dibaca setelah wudhu,        yaitu :

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُه
  “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang maha esa dan tiada sekutu bagi-     Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya dan Rasul-Nya.” (HR Muslim   dan Tirmidzi)
Lalu adakah doa-doa wudhu tersebut?. Setelah saya cari di beberapa kitab-kitab fiqih dari 4 mazhab yang muktamad. Ternyata doa-doa ini saya temukan ada di kebanyakan kitab Fiqih Mazhab Imam Hanafi, seperti Al-bahrul-Ra’iq, Raddul-Muhtar, hasyiyatu ‘Abidin dan beberapa kitab lainnya.
Para ulama tersebut memasukan doa-doa tersebut kedalam sunnah-sunnah wudhu. Beliau-beliau mengatakan bahwa doa-doa ini ma’tsur dari Nabi SAW. Tapi tanpa penjelasan sanad riwayat hadits tersebut.
Namun hadits tentang doa-doa wudhu itu juga tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadist kecuali dalam kitab Kanzul-‘ummal. Tetapi dalam kitab itu juga, pengarang meragukan keshohihan hadits ini dari Nabi SAW atau tidak, dengan menuliskan beberapa komentar ulama-ulama hadits tentang hadits ini. Seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqolani yang mengatakan bahwa : “hadits ini ghorib. Di sanadnya ada khorijah bin mus’ab yang menurut Ibnu Mu’in ia adalah seorang pembohong dan menurut jumhur matruk.” Juga Ibnu Hibban yang mengatakan bahwa ia adalah seorang mudallis. (lihat Kanzul-‘Ummal jilid 9 hal 465, no 26989)
Dalam kitab-kitab fiqih Syafi’i seperti Al-majmu’, Mughnil-Muhtaj, Nihayatuz-Zein, I’anah Al-Tholibin, Raudhoh dan beberapa kitab lainnya, bahwa hadits doa-doa wudhu itu di nafikkan kebenarannya dari Nabi Muhammad SAW. Para ulama tersebut mengatakan bahwa hadits itu “Laa ‘Ashla lahu” (tidak ada asalnya), dan tidak ada riwayat dari Nabi SAW tentang doa-doa tersebut.
Lebih tegas dalam menanggapi masalah ini, Dr. Yusuf Al-Qordhowi dalam fatwanya mengatakan : “doa-doa ini dan semacamnya adalah bid’ah yang di-ada-adakan oleh orang-orang setelah abad pertama, dan tidak ada satupun dari doa tersebut yang ma’tsur (diriwayatkan secara sah dari Nabi SAW). Dalam hal ini Rasul SAW bersabda : “jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara yang di-ada-adakan dalam masalah ‘ubudiyah. Karena sesungguhnya tiap-tiap bid’ah itu adalah sesat.  “ (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

12)         Mengenai Membaca Doa selesai wudhu
Dalil :
“......Tidaklah ada seseorang di antara kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian setelah itu dia membaca doa ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abdullah warasuluh’ melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga yang dia akan dipersilakan untuk masuk melalui pintu mana pun yang dia inginkan.” (HR. Muslim)

13)       Mengenai Larangan Mengelap anggota wudhu setelah berwudhu
Sebagian orang menganggap bahwa kita tidak boleh mengeringkan anggota badan setelah berwudhu dengan handuk, kain, dan sejenisnya karena akan terluput dari keutamaan wudhu yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
“Jika seorang hamba yang muslim atau mukmin berwudhu, ketika dia membasuh wajahnya, maka keluarlah dari wajahnya tersebut semua kesalahan yang dilakukan oleh pandangan matanya bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya). Ketika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari kedua tangannya tersebut semua kesalahan yang dilakukan oleh kedua tangannya bersama dengan (tetesan) air  atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya). Ketika dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dari kedua kakinya tersebut semua kesalahan yang dilakukan (dilangkahkan) oleh kedua kakinya, bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya), sehingga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa (yaitu dosa kecil, pen.)” (HR. Muslim no. 244).
Mereka beranggapan, jika air bekas wudhu yang masih menempel di anggota badan dikeringkan, maka mereka tidak bisa mendapatkan keutamaan dibersihkan dari dosa (kesalahan) bersamaan dengan tetesan air wudhu yang terakhir. Benarkah anggapan semacam ini?
Berkenaan dengan masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang makruh-nya mengeringkan anggota badan setelah berwudhu. [Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, hal. 42-43.]
Pendapat pertama menyatakan bahwa hukumnya makruh. Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Maimunah radhiyallahu ‘anha ketika menggambarkan tata cara mandi wajib (mandi janabah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits tersebut Maimunah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
 “Kemudian aku ambilkan kain untuk beliau, namun beliau menolaknya” (Muttafaq ‘alaihi. Lafadz hadits ini milik Muslim no. 317).
Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya mubah (boleh), baik setelah berwudhu atau setelah mandi. Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kain yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah berwudhu” (HR. At-Tirmidzi no. 53, dan beliau mendha’ifkan hadits ini. Namun yang lebih tepat, hadits ini memiliki penguat sehingga dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ hadits no. 4706).
Para ulama yang membolehkan beralasan bahwa hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha di atas tidak bisa digunakan sebagai dasar makruhnya mengeringkan anggota badan setelah berwudhu atau mandi. Hal ini karena penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mengandung banyak kemungkinan, misalnya karena kainnya yang kotor (tidak bersih), atau beliau tidak ingin kain tersebut basah terkena air, atau alasan-alasan lainnya.
Selain itu, hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha ini justru mengisyaratkan bahwa di antara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau biasa mengeringkan anggota badan setelah berwudhu sehingga Maimunah pun menyiapkan kain untuk beliau. Isyarat ini dikuatkan oleh hadits ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa beliau memiliki kain khusus yang biasa beliau gunakan untuk menyeka air setelah berwudhu. 
Kesimpulannya, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa mengeringkan atau menyeka anggota badan setelah berwudhu hukumnya boleh (mubah) dan tidak makruh.
Syaikh Abu Malik mengatakan,Boleh mengeringkan anggota badan setelah berwudhu karena tidak adanya dalil yang melarang hal tersebut, sehingga hukum asalnya adalah mubah.”( Shahih Fiqh Sunnah 1/126.) 

KESIMPULAN :
Tata cara wudhu sesuai sunnah adalah sebagai berikut :
Ø Membaca bismillah dengan niat cukup dalam hati,
Ø Membasuh kedua telapak tangan tiga kali,
Ø Berkumur-kumur dan memasukan air dalam hidung dilakukan sekaligus melalui satu cidukan tangan tiga kali,
Ø Membasuh wajah dan menyela jenggot bagi yang mempunyai jenggot tiga kali,
Ø Membasuh kedua tangan hingga siku, kanan tiga kali dan kiri tiga kali,
Ø Mengusap seluruh kepala dari depan sampai ke bagian belakang (tengkuk) lalu kembali lagi ke depan dan mengusap kedua telinga dilakukan sekaligus melalui satu cidukan tangan sekali,
Ø Membasuh kedua kaki hingga mata kaki, kanan tiga kali dan kiri tiga kali,
Ø Orang yang berwudhu wajib membasuh anggota wudhu’nya secara berurutan (tertib),
Ø Membaca doa setelah wudhu sebagaimana hadits riwayat Bukhari atau Muslim.

Hal penting yang harus diketahui mengenai wudhu
Ø Disunnahkan mendahulukan yang kanan,
Ø Disunnahkan menyela-nyela jari tangan dan kaki,
Ø Penulis tidak menemukan dasar hukum mengenai membasuh leher,
Ø Penulis tidak menemukan dasar hukum mengenai do’a-do’a wudhu kecuali do’a setelah berwudhu,
Ø Tidak ada larangan tidak boleh berbicara ketika wudhu, terkecuali hal yang menyebabkan memakai air yang berlebihan (boros),
Ø Tidak ada larangan mengelap atau mengeringkan anggota-anggota wudhu’ (dengan handuk dan yang lainnya) setelah wudhu’nya selesai.








No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates