NGAJI FIQIH WUDHU ALA RASULULLAH SAW
PENDAHULUAN
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya“.”
(QS. Al Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah
Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya
ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”( Shohih Tafsir Ibnu
Katsir oleh Syaikh Musthofa Al
Adawiy hafidzahullah hal.
57/III, Mesir.)
Dari
ayat dan petikan tafsir di atas dapat diambil kesimpulan bahwa syarat
diterimanya suatu ibadah adalah :
1.
Ikhlas, yaitu “kesesuaian amalan bathin (hati) seorang hamba dengan dhohirnya/anggota badannya” (Madarijus Salikin oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah hal. 91/II) .
2.
Ittiba, yaitu mengikuti apa yang beliau perintahkan/syari’atkan merupakan
salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan”( Syarh Tsalatsatul Ushul oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 98, terbitan Daruts Tsuraya,
Riyadh).
PEMBAHASAN
DALIL
WUDHU
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, ..”.(QS. AL MAIDAH, 6)
Dari
ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa rukun wudhu itu ada empat dan ditambahkan
lagi oleh para ulama dengan niat dan tertib. Maka, rukun wudhu adalah sebagai
berikut:1. Niat, 2. Membasuh muka, 3. Membasuh kedua tangan hingga siku, 4.
Mengusap kepala, 5. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki & 6. Berurutan.
Humran
pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin
berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian
berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3
kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci
tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh
kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu
juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian
beliau bersabda, “Barangsiapa
berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk, maka
Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.(HR. Bukhari & Muslim)
PENTINGNYA
WUDHU
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw
bersabda:
لَاتُقْبَلُ
صَلَاةُ أَحَدِ كُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّي تَوَاضَأَ
“Tidak akan diterima shalat salah seorang di antara
kalian apabila ia berhadats, hingga ia berwudhu’.” (HR. Muslim)
HAL-HAL
MENGENAI WUDHU
1)
Mengenai Niat
“Niat adalah maksud yang diinginkan dari
perbuatan”. Niat dalam seluruh ibadah tempatnya
di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati
para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh,
sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya
ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada
dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur
berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya
bukan yang ada di lisannya”( Al Fatawatul
Qubro oleh Ibnu Taimiyah (691-751 H), dengan tahqiq Husnain Muhammad
Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon.).
Ibnul Qayim (661-728 H) rahimahullah mengatakan, "Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal wudhu tidak pernah mengucapkan
"nawaitu lirof’il hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats
…)". Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang
sahabat pun yg mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat baik dengan
sanad yg shahih maupun dha’if (lemah) yg menyebutkan bahwa beliau mengucapkan
bacaan tadi." (Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/196, cetakan ke-17, tahun 1415 H).
.Lafadz niat sangat masyhur ditunjukan kepada mazhab Syafi’i,
hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yg masih termasuk dalam ulama mazhab
Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah mewajibkan untuk
melafadzkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yg keliru dalam meng-interpretasi-kan
perkataan Imam Syafi’i dalam kitab Al Um-nya yakni redaksi sebagai berikut:
ذا نوى. حجا أو عمرة أجزأه و إن لم
يتلفظ، و ليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
"Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau
umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak
dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan
melafadzkan, sedangkan yg dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir".
(al Majmuu’ II/43)
An Nawawi (631-676 H) (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i)
berkata: "Beberapa rekan kami berkata: "Orang yg mengatakan hal itu
telah keliru. Bukan itu yg dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di
dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah
takbir." (al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu
Zaid:100).
Ibnu Abi Izz Al Hanafi (731-792 H) berkata : "Tidak ada
seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang
lainnya yang mensyaratkan lafadz niat. Menurut kesepakatan mereka, niat itu
tempatnya di hati. Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang
melafadzkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab
Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullah berkata : "Itu tidak benar" (Al
Itbaa’ :62)
Mari kita
mencontoh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai teladan,
"Sesungguhnya
shalat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu’ dan melakukan wudhu’
sesuai ketentuannya, lalu ia mengucapkan Allahu Akbar." (Hadits
diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Apabila engkau akan mengerjakan
shalat, maka sempurnakanlah wudhu lebih dulu kemudian menghadaplah ke arah
kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihram." (Muttafaq 'alaih).
2)
Mengenai Membaca
“Bismillahirahmanirahim” Sebelum Wudhu
Dalil :
لَاوُضُوءَلِمَنْ لَمْ يَذْكُرِاسْمَ
اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak
ada wudhu (tidak sah) wudhunya seseorang yang tidak menyebut nama Allah.” (HR. Abu Dawud dihasankan oleh Syaikh
al-Albani)
yang menunjukkan wajibnya dihilangkan oleh
sebuah ayat yang berbunyi :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki…” (al-Maidah
: 6)
Allah tidak menyebutkan pada ayat ini
membaca Basmalah ketika berwudhu. Begitu juga
pada hadits-hadits yang menerangkan tentang wudhunya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak disebutkan membaca Basmalah ini
menunjukkan hukumnya sunnah.
3) Mengenai Mendahulukan yang Kanan
Dalil : Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasanya sangat menyukai mendahulukan yang kanan dalam hal mengenakan sandal,
bersisir, bersuci, dan dalam
segala macam urusan beliau.” (HR. Bukhari)
4)
Mengenai Membasuh kedua telapak
tangan
Dalil
:
“Kemudian beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali”. (HR. Mutafaqun ‘alayh dan Abu Daud)
5)
Mengenai Berkumur-kumur dan
menghisap air ke hidung
Dalil
:
“Jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Imam Al Albani).
Ibnul Qayyim menyebutkan,
“Ketika
berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan
satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula
dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara
kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh
cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika
suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu
cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah)”.
6) Mengenai Membasuh wajah dan menyela jenggot
Dalil :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ
لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَل
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu apabila berwudhu maka
beliau mengambil air dengan telapak tangannya kemudian dia masukkan ke bawah
dagunya dan menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut. Lantas beliau
mengatakan, “Demikianlah yang diperintahkan oleh Rabbku ‘azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu
Dawud [1/223] as-Syamilah)
Menurut Ibnu Katsir, "Batasan wajah
menurut para ahli fiqih adalah, 'Panjang, antara tempat tumbuhnya rambut,
kepala gundul tidak dianggap, hingga ujung dagu, sedangkan lebarnya antara
kedua telinga." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/47)
7) Mengenai Membasuh tangan hingga siku
Dalil :
Habban bin Wasi’
menuturkan bahwa bapaknya menceritakan kepadanya :
Suatu ketika dia
mendengar Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Mazini radhiyallahu’anhu teringat
bahwa dahulu dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.
Ketika itu, beliau berkumur-kumur kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari
hidung). Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Lalu membasuh
tangan kanannya tiga kali demikian juga yang sebelah kiri tiga kali. Lalu
beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa air yang dipakai untuk
membasuh tangannya tadi. Dan kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga rata
dan bersih. Abu Thahir mengatakan:
Ibnu Wahb menuturkan kepada kami dari Amr bin al-Harits (HR. Muslim dalam Kitab
at-Thaharah)
8) Mengenai Mengusap kepala dan kedua telinga
Dalil :
Dari ‘Abdullah bin
Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana
dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga
kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan
kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau membasuh kedua kakinya
(HR. Bukhari)
Kemudian dalam hadis
yang lain :
“...............Kemudian dia masukkan tangannya ke
dalam timba itu dan mengambil air untuk mengusap kepala dan kedua daun
telinganya, Dia membasuh (mengusap) bagian dalam kedua telinga itu dan bagian
luarnya, dia melakukan itu hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya,
lalu dia berkata, “Manakah orang-orang yang bertanya mengenai wudhu tadi?
Demikian itu tadi cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
aku saksikan” . (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/186] as-Syamilah)
Kemudian hadits
الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua telinga adalah bagian dari kepala.”(HR.
Abu Dawud)
Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke
belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala
itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa
diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup
dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah berbeda dengan cara ini.
Adapun
hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang
haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan
bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali.
Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammembasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya
tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari
‘Umar bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh
kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan
ayahnya adalah periwayat yang lemah.”
9) Mengenai
Mengusap leher
Sebagian ulama berpendapat mengusap leher ketika berwudhu itu sunnah, dan
ini merupakan Madzhab Hanafiyah, pendapat sebagian ulama Syafi’iyah (Ibnu
Al-Qaash), dan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. (lihat: Raudh
Thalibin 1/61).
Adapun kebanyakan ulama berpendapat bahwa mengusap leher
dalam wudhu bukan merupakan sunnah dalam wudhu, dan ini merupakan PENDAPAT
YANG SHAHIH. Bahkan sebagian ulama madzhab hanafiyah menganggap bahwa
mengusap leher ini adalah bid’ah. (lihat: Syarh Fath Al-Qadir: 1/36). Namun
madzhab malikiyah hanya menganggapnya sebagai amalan makruh. (lihat: Hasyiah
Al-Dasuqi: 1/103). Adapun yang berpendapat sunatnya mengusap leher, maka mereka
berdalil dengan beberapa dalil, yaitu:
Pertama: HR Ahmad dalam
Musnadnya (3/418): Dari Kakeknya Thalhah, dari ayahnya, “bahwa ia melihat
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengusap kepalanya hingga sampai kebawah
lehernya dan bagian setelahnya, beliau memulainya dari atas lehernya sebanyak
satu kali usapan”.
Namun hadis ini sanadnya lemah, tidak bisa dijadikan dalil,
karena dalam sanadnya terdapat rawi bernama Al-Laits bin Abi Sulaim, Dalam
Al-Taqrib (5686) Hafidz Ibnu Hajar menyatakan bahwa: “Ia shoduq (dari segi
agama), namun hafalannya sering kontradiksi, sehingga antara riwayatnya yang
shahih dan tidak bisa dibedakan, olehnya itu riwayat hadisnya pun
ditinggalkan”.
Kedua: Sebagaiman hadits yang disebutkan pada bagian mengenai
mengusap kepala.
Ketiga: HR Abu
Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan sebagai berikut :
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang berwudhu dan mengusap lehernya, maka ia tidak akan dibelenggu dengan
rantai (neraka) dihari kiamat kelak”. Dalam kitab “Al-Badr Al-Munir (1/38) Ibnu
Al-Mulaqqin berkata: bahwa hadis ini “gharib (lemah), dan saya tidak
mengetahuinya kecuali dari ucapan Musa bin Thalhah, sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Ubaid dalam kitab Gharibnya”. Artinya; Sanad hadis ini salah, yang
benar adalah hanya ucapan sebagian salaf, dan bukan hadits. Imam Nawawi berkata
dalam Syarah Muhadzab dan kitab lainnya: “hadis ini palsu”. Ibnul-Qayim
juga berkata: “Tidak ada hadis shahih satupun dari Nabi shallallahu’alaihi
wasallam tentang pengusapan leher ketika wudhu”. Zaad Al-Ma’aad (1/195).
10) Mengenai
Membasuh kaki hingga mata kaki
Dalil : telah disebutkan di atas
Membasuh kaki harus sempurna tidak cukup hanya
diusap tetapi di gosok agar terhilangnya najis yang menempel.
Rasulullah bersabda :
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, dia berkata:
تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنَّا فِي سَفْرَةٍ
سَافَرْنَاهَا فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الْعَصْرَ فَجَعَلْنَا
نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ
لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari rombongan dalam sebuah
perjalanan yang kami lakukan. Kemudian beliau berhasil menyusul kami sementara
waktu ‘Ashar sudah hampir habis. Kami pun tergesa-gesa berwudhu dan hanya
mengusap kaki kami. Maka beliau pun berseru dengan suara yang tinggi, “Celakalah
tumit-tumit yang tidak terbasuh air karena ia akan terkena panasnya api neraka.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali (HR. Bukhari
dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
11)
Mengenai Do’a-do’a yang dibaca ketika berwudhu
Dalam kitabnya Al-Adzkar, Imam Nawawi menerangkan bahwa dalam wudhu tidak
ada doa yang berasal dari Nabi SAW kecuali apa yang dibaca setelah wudhu, yaitu
:
أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُه
“aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang maha esa dan tiada sekutu
bagi- Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya dan Rasul-Nya.” (HR Muslim dan Tirmidzi)
Lalu adakah doa-doa wudhu tersebut?. Setelah saya cari di beberapa
kitab-kitab fiqih dari 4 mazhab yang muktamad. Ternyata doa-doa ini saya
temukan ada di kebanyakan kitab Fiqih Mazhab Imam Hanafi, seperti
Al-bahrul-Ra’iq, Raddul-Muhtar, hasyiyatu ‘Abidin dan beberapa kitab lainnya.
Para ulama tersebut memasukan doa-doa tersebut kedalam sunnah-sunnah wudhu.
Beliau-beliau mengatakan bahwa doa-doa ini ma’tsur dari Nabi SAW. Tapi tanpa
penjelasan sanad riwayat hadits tersebut.
Namun hadits tentang doa-doa wudhu itu juga tidak ditemukan dalam
kitab-kitab hadist kecuali dalam kitab Kanzul-‘ummal. Tetapi dalam kitab itu
juga, pengarang meragukan keshohihan hadits ini dari Nabi SAW atau tidak,
dengan menuliskan beberapa komentar ulama-ulama hadits tentang hadits ini.
Seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqolani yang mengatakan bahwa : “hadits ini ghorib. Di
sanadnya ada khorijah bin mus’ab yang menurut Ibnu Mu’in ia adalah seorang
pembohong dan menurut jumhur matruk.” Juga Ibnu Hibban yang mengatakan bahwa ia
adalah seorang mudallis. (lihat Kanzul-‘Ummal jilid 9 hal 465, no 26989)
Dalam kitab-kitab fiqih Syafi’i seperti Al-majmu’, Mughnil-Muhtaj,
Nihayatuz-Zein, I’anah Al-Tholibin, Raudhoh dan beberapa kitab lainnya, bahwa
hadits doa-doa wudhu itu di nafikkan kebenarannya dari Nabi Muhammad SAW. Para
ulama tersebut mengatakan bahwa hadits itu “Laa ‘Ashla lahu” (tidak ada
asalnya), dan tidak ada riwayat dari Nabi SAW tentang doa-doa tersebut.
Lebih tegas dalam menanggapi masalah ini, Dr. Yusuf Al-Qordhowi dalam
fatwanya mengatakan : “doa-doa ini dan semacamnya adalah bid’ah yang
di-ada-adakan oleh orang-orang setelah abad pertama, dan tidak ada satupun dari
doa tersebut yang ma’tsur (diriwayatkan secara sah dari Nabi SAW). Dalam hal
ini Rasul SAW bersabda : “jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara yang
di-ada-adakan dalam masalah ‘ubudiyah. Karena sesungguhnya tiap-tiap bid’ah itu
adalah sesat. “ (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
12)
Mengenai Membaca Doa selesai wudhu
Dalil :
“......Tidaklah ada seseorang di antara kalian yang berwudhu
lalu menyempurnakan wudhunya kemudian setelah itu dia membaca doa ‘Asyhadu
anlaa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abdullah warasuluh’ melainkan akan
dibukakan baginya delapan pintu surga yang dia akan dipersilakan untuk masuk
melalui pintu mana pun yang dia inginkan.” (HR. Muslim)
13)
Mengenai Larangan Mengelap anggota wudhu setelah
berwudhu
Sebagian orang menganggap bahwa kita tidak boleh
mengeringkan anggota badan setelah berwudhu dengan handuk, kain, dan sejenisnya
karena akan terluput dari keutamaan wudhu yang dijelaskan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
“Jika
seorang hamba yang muslim atau mukmin berwudhu, ketika dia membasuh wajahnya,
maka keluarlah dari wajahnya tersebut semua kesalahan yang dilakukan oleh
pandangan matanya bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang
mengalir darinya). Ketika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari
kedua tangannya tersebut semua kesalahan yang dilakukan oleh kedua tangannya
bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir
darinya). Ketika dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dari kedua kakinya
tersebut semua kesalahan yang dilakukan (dilangkahkan) oleh kedua kakinya,
bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya),
sehingga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa (yaitu dosa kecil,
pen.)” (HR.
Muslim no. 244).
Mereka beranggapan, jika air bekas wudhu yang masih
menempel di anggota badan dikeringkan, maka mereka tidak bisa mendapatkan
keutamaan dibersihkan dari dosa (kesalahan) bersamaan dengan tetesan air wudhu
yang terakhir. Benarkah anggapan semacam ini?
Berkenaan dengan masalah ini, terdapat perselisihan
pendapat di kalangan para ulama tentang makruh-nya mengeringkan anggota badan
setelah berwudhu. [Lihat Shifat Wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karya Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, hal.
42-43.]
Pendapat
pertama menyatakan bahwa hukumnya makruh.
Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Maimunah radhiyallahu ‘anha ketika menggambarkan
tata cara mandi wajib (mandi janabah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dalam hadits tersebut Maimunah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
“Kemudian aku ambilkan kain untuk
beliau, namun beliau menolaknya” (Muttafaq ‘alaihi. Lafadz hadits ini milik Muslim no.
317).
Pendapat
kedua menyatakan bahwa hukumnya mubah
(boleh), baik setelah berwudhu atau setelah mandi. Para ulama yang berpendapat
seperti ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kain yang beliau gunakan untuk
mengeringkan anggota badan setelah berwudhu” (HR. At-Tirmidzi no. 53, dan beliau mendha’ifkan
hadits ini. Namun yang lebih tepat, hadits ini memiliki penguat sehingga
dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ hadits no. 4706).
Para ulama yang membolehkan beralasan bahwa hadits
Maimunah radhiyallahu ‘anha di atas tidak bisa digunakan sebagai
dasar makruhnya mengeringkan anggota badan setelah berwudhu atau mandi. Hal ini
karena penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut
mengandung banyak kemungkinan, misalnya karena kainnya yang kotor (tidak
bersih), atau beliau tidak ingin kain tersebut basah terkena air, atau
alasan-alasan lainnya.
Selain itu, hadits Maimunah radhiyallahu
‘anha ini justru mengisyaratkan bahwa di antara kebiasaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah beliau biasa mengeringkan anggota badan
setelah berwudhu sehingga Maimunah pun menyiapkan kain untuk beliau. Isyarat
ini dikuatkan oleh hadits ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha yang
menyatakan bahwa beliau memiliki kain khusus yang biasa beliau gunakan untuk
menyeka air setelah berwudhu.
Kesimpulannya,
pendapat yang lebih kuat adalah bahwa mengeringkan atau menyeka anggota badan
setelah berwudhu hukumnya boleh (mubah) dan tidak makruh.
Syaikh
Abu Malik mengatakan,”Boleh mengeringkan anggota badan setelah berwudhu
karena tidak adanya dalil yang melarang hal tersebut, sehingga hukum asalnya
adalah mubah.”( Shahih Fiqh Sunnah 1/126.)
KESIMPULAN :
Tata cara
wudhu sesuai sunnah adalah sebagai berikut :
Ø
Membaca bismillah dengan niat
cukup dalam hati,
Ø
Membasuh kedua telapak tangan
tiga kali,
Ø
Berkumur-kumur dan memasukan
air dalam hidung dilakukan sekaligus melalui satu cidukan tangan tiga kali,
Ø
Membasuh wajah dan menyela
jenggot bagi yang mempunyai jenggot tiga kali,
Ø Membasuh kedua tangan hingga siku, kanan tiga kali dan kiri
tiga kali,
Ø Mengusap seluruh kepala dari depan sampai ke bagian belakang (tengkuk) lalu kembali lagi ke depan dan
mengusap kedua telinga dilakukan sekaligus melalui satu cidukan tangan sekali,
Ø Membasuh kedua kaki hingga mata kaki, kanan tiga kali dan kiri tiga kali,
Ø Orang yang berwudhu wajib membasuh anggota wudhu’nya secara berurutan
(tertib),
Ø Membaca doa setelah wudhu sebagaimana hadits riwayat Bukhari atau Muslim.
Hal penting yang harus diketahui mengenai wudhu
Ø Disunnahkan mendahulukan yang kanan,
Ø Disunnahkan menyela-nyela jari tangan dan kaki,
Ø Penulis tidak menemukan dasar hukum mengenai membasuh leher,
Ø Penulis tidak menemukan dasar hukum mengenai do’a-do’a wudhu kecuali do’a setelah
berwudhu,
Ø Tidak ada larangan tidak boleh berbicara ketika wudhu, terkecuali hal yang
menyebabkan memakai air yang berlebihan (boros),
Ø Tidak ada larangan mengelap atau mengeringkan anggota-anggota wudhu’ (dengan handuk dan yang lainnya)
setelah wudhu’nya selesai.
No comments:
Post a Comment