Social Icons

Pages

Sunday 1 May 2016

MAKALAH TAFSIR FIQIH

    PEMBAHASAN
        A.    Pengertian Tafsir Fiqh
Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih mengarah kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur,an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam alqur’an.[1]

        B.     Sejarah Munculnya Tafsir Fiqh
Para sahabat di masa Rasulullah memahami al Quran dengan “naluri” kearaban mereka. Dan jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah dan beliau pun lalu menjelaskannya kepada mereka.
Setelah Rasulullah wafat dan fuqaha sahabat mengendalikan umat dibawah kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin serta banyak terjadi persoalan-persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Quran merupakan tempat kembali mereka untuk mengistimbatkan hukum-hukum syara’ bagi persoalan baru tersebut. Mereka pun sepakat bulat atas hal tersebut. Jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi (dalam lafadz).
Ketika tiba masa empat imam fiqh dan setiap imam membuat dasar-dasar istimbat hukum masing-masing dalam mazhabnya serta bebagai peristiwa semakin banyak dan persoalan-persoalan pun menjadi bercabang-cabang; maka semakin bertambah pula aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini disebabkan perbedaan segi dalalahnya, bukan karena fanatisme terhadap suatu mazhab, melainkan karena setiap ahli fiqih berpegang pada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain, untuk merujuk kepadanya.[2]
Keadaan tetap berjalan demikian sampai datanglah masa taklid dan fanatisme mazhab. Maka pada masa ini aktifitas para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaan mazhab mereka sekalipun untuk ini mereka harus membawa ayat-ayat Quran kepada makna yang lemah dan jauh. Dan sebagai akibatnya maka muncullah “tafsir fiqih” yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Quran. Di dalamnya fanatisme mazhab terkadang menjadi semakin memuncak dan terkadang pula mereda.[3]

          C.     Pengaruh Perbedaan Mazhab Fiqh Dalam Penafsiran
Sebagaimana mafhum bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah yang mengandung hukum-hukum syariat yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Di antara hukum-hukum syariat tersebut adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah, kedua ruang lingkup hidup tersebut saat ini dikenal dengan istilah fiqh. Pada masa Rasulullah masih hidup, setiap muncul permasalahan keagamaan (fiqh) akan langsung disampaikan kepada beliau, selain itu juga pemahaman para shahabat terhadap bahasa Arab menjadikan permasalahan yang muncul tidak banyak.
Namun setelah beliau wafat permasalahan yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqh Islam bermunculan, walaupun ada ijma bahwa segala sesuatu dikemablikan kepada Al-Quran dan Al-Hadits, namun beberapa permasalahan sering kali tidak ditemukan pada keduanya. Dari sinilah muncul tantangan baru bagaimana memahami fiqh Islam dengan pendekatan yang lain, yaitu keahlian mujtahid untuk menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kepada sunnah RasulNya. Pendekatan yang dilakukan ini disebut dengan ijtihad, yaitu upaya untuk menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadits dengan kekuatan akal dan hati.[4]
Karena ijtihad menjadi jalan keluar maka bermunculanlah para ulama yang berijtihad sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat yang berbeda. Perbedaan sendiri telah terjadi sejak pada masa para sahabat Nabi. Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, imam Maliki.
Dengan berkembangnya pendapat-pendapat madzhab tersebut maka berkembang pula corak penafsiran yang sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Sehingga muncul tafsir Al-Qur’an dengan corak fiqhi madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.
                               

      D.    Karakteristik
Sebagaiman yang telah kita ketahui bahwa tafsir Fiqh adalah tafsir yang membahas tentang hukum-hukum dalam Islam. Maka, karakteristik dari tafsir Fiqh ini adalah memfokuskan perhatian kepada aspek hukum fiqh. Karena itu para mufasir corak fiqhi akan selalu menafsirkan setiap ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum Islam. Para mufasir akan banyak menafsirkan ayat-ayat ahkam, yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum Islam dalam Al-Qur’an.

          E.  Tokoh-tokoh dalam Tafsir Fiqh
      
          1. Tafsir  al Jassos
·         Biografi dan Pengenalan Kitab
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi, yang terkenal dengan sebutan Al-Jashash.[5] AL-Jashash adalah seorang ahli tafsir dan ahli ushul fikih ternama yang terkenal dengan panggilan Al- Jashash (penjual kapur rumah). Ia disebut demikian, karena dalam mencari nafkah hidup ia bekerja sebagai pembuat dan penjual kapur rumah.[6] Ia lahir di Baghdad tahun 305 H.di masanya ia adalah imam pengikut madzhab Hanafi, dan kepadanya pula akhir pegangan para sahabatnya. Dia berguru kepada Abu sahal Al-Zujaj, Abu Al-Hasan Al-Harakhi, dan kepada orang alim fikih lainnya pada saat itu. Proses belajarnya menetap di baghdad, dan perjalanan mencari ilmunyapun berakhir di sana. Al-Jashash berguru tentang Zuhud kepada Al-karakhi dan mengambil kemanfaatnya, saat jashash mencapai maqam Zuhud, di minta untuk menjadi seorang penghulu (qadli), tapi ia tolak. Dan ketika di minta lagi ia tetap tidak menerima.[7]
             Penulis kitab ini adalah Abu Bakr Ahmad bin Ar-Razi, dikenal dengan nama Al-Jasshash, sebagai penisbatan kepada profesinya sebagai jashshash (tukang plester). Dia salah seorang imam fikih Hanafi pada abad 4 H. Ahkam Al-Qur’an adalah karyanya yang dipandang sebagai kitab tafsir fikih terpenting, khususnya bagi penganut madzhab Hanafi.
           Dalam kitab ini penulis memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum furu’ , ia mengemukakan satu atau beberapa ayat lalu menjelasakan maknanya secara ma’tsur dengan perspektif fikih. Selanjutnya ia mengetengahkan berbagai perbedaan antar madzhab fikih tentang hal berkenaan. Oleh sebab itu, kitab ini dirasa oleh pembaca bukan lagi sebuah tafsir, tetapi kitab fikih.
           Al-Jasshash memiliki fanatisme yang kental terhadap madzhabnya, sehingga berefek pada penafsiran atau pentakwilan suatu ayat. Akibatnya, penafsiranya bias madzhab. Ia juga ekstrim dalam membantah pendapat yang berbeda dengannya.

·         Metode tafsir al Jassos
Kitab tafsir Ahkam Al-Quran karya Al-Jashash termasuk dalam tafsir ni Al-Ma’tsur (bi Al-Riwayah), yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, dengan perkataan shahabat atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in disamping itu ia juga mengemukakan beberapa pendapat berdasarkan pada pemikirannya.[8]
Imam Al-Jassos pula merupakan pentafsir yang terkenal dalam mazhab Hanafi dengan kitab tafsirnya ahkam al-quran, nama kitab tafsirnya sama dengan kitab Ibnu Al-Arabi, walaupun nama kitab mereka sama tetapi tidak semestinya metod yang digunakan juga adalah sama. Dari segi persamaan penggunaan metod, Ibnu Al-Arabi dan Al-Jassos sama-sama membincangkan tentang ayat hukum, masalah perselisihan pendapat dan berpegang kepada al-quran dan as-sunnah. Manakala dari segi perbezaan penggunaan metod pula, mereka berbeza dari segi susunan bab, gaya bahasa dan susunan surah, contohnya Al-Jassos memulakan tafsirannya dari bassmalah, kemudian fatihah dan berakhir dengan surah al-falak, manakala Ibnu Al-Arabi pula memulakan tafsirannya daripada bassmalah dan berakhir dengan surah al-falak dan al-nas sekaligus.[9]

               2.  Tafsir Ibnu al Arobi
·         Biografi
             Beliau adalah Muhamad bin Abdullah bin Muhamad Abdullah bin Ahmad bin Al-Arabi Al-Isbili Al-Maliki. Dikenali juga sebagai Abu Bakar, manakala bapanya pula merupakan seorang ulama fiqh. Ibnu Al-Arabi berkongsi gelaran dengan Ibnu Arabi Al–Sufi, namun begitu mereka berdua dibezakan dengan alif dan lam. Ibnu Al-Arabi mempunyai alif dan lam yang dikenali sebagai ahli tafsir manakala Ibnu Arabi tanpa alif dan lam dikenali sebagai ahli sufi.[10] Beliau dilahirkan pada tahun 468 hijrah dalam keluarga yang berkedudukan tinggi dalam ilmu pengetahuan dan dibesarkan dalam suasana keilmuan, kemudian wafat pada tahun 543 hijrah ketika berusia 75 tahun di Udwah dan dikebumikan di bandar.[11] Beliau banyak mengarang kitab diantaranya kitab ahkam al-quran, kitab masalik fi sarah muwata Malik, kitab kanun fi tafsir al-quran dan sebagainya.

·         Pengenalan Kitab ‘Ahkam al Qur’an’
Kitab ahkam al-quran merupakan salah sebuah kitab yang dikarang oleh Ibnu Al-Arabi, ia juga dianggap kitab tafsir ayat-ayat hukum yang penting dalam mazhab Maliki. Beliau memulakan pentafsiran dengan perbincangan semua surah-surah yang terdapat dalam al-quran tetapi hanya menerangkan secara terperinci ayat-ayat hukum sahaja. Kaedah yang digunakan adalah dengan menyebut nama surah dahulu, kemudian menyebut bilangan ayat yang mengandungi ayat hukum dan seterusnya menerangkannya satu-satu, sebagai contoh: ayat pertama terdapat 6 masalah hukum, ayat kedua 5 masalah hukum dan seterusnya hinggalah tamat tafsir kesemua ayat dalam sesuatu surah.[12]
Adapun metode-metode Ibnu al Arobi dalam kitabnya ‘Ahkam al Qur’an’  adalah sebagai berikut :
1. Adanya pengaruh madzhab.
2. Mengikuti metode tafsir terdahulu seperti tafsir at Thobari dan al Jassos.
3. Nukilan dari kitab tafsir terdahulu.

·         Contoh Penafsiran Ibnu al Arobi
Surat  an Nur, 24 :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ
          الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ : قَوْلُهُ : { وَأَنْكِحُوا } : لَفْظُهُ بِصِيغَةِ الْأَمْرِ ، وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهِ أَوْ نَدْبِهِ أَوْ إبَاحَتِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ : وَقَالَ عُلَمَاؤُنَا : يَخْتَلِفُ الْحُكْمُ فِي ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ حَالِ الْمَرْءِ مِنْ خَوْفِهِ الْعَنَتَ ، وَعَدَمِ صَبْرِهِ ، وَمِنْ قُوَّتِهِ عَلَى الصَّبْرِ ، وَزَوَالِ خَشْيَةِ الْعَنَتِ عَنْهُ .وَإِذَا خَافَ الْهَلَاكَ فِي الدِّينِ أَوْ الدُّنْيَا أَوْ فِيهِمَا فَالنِّكَاحُ حَتْمٌ .وَإِنْ لَمْ يَخْشَ شَيْئًا وَكَانَتْ الْحَالُ مُطْلَقَةً ، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ : النِّكَاحُ مُبَاحٌ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ : هُوَ مُسْتَحَبٌّ .
وَتَعَلَّقَ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّهُ قَضَاءُ لَذَّةٍ ، فَكَانَ مُبَاحًا كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ .
وَتَعَلَّقَ عُلَمَاؤُنَا فِي ذَلِكَ بِأَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ ، وَلَا فَائِدَةَ فِي التَّعَلُّقِ بِغَيْرِ الصَّحِيحِ .
وَفِي ذَلِكَ حَدِيثَانِ صَحِيحَانِ : الْأَوَّلُ : قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : { جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوهَا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ .
قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا .
وَقَالَ الْآخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ ، وَلَا أُفْطِرُ .
وَقَالَ الْآخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ وَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَيْهِمْ ، فَقَالَ : أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاَللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، وَلَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ؛ مَنْ يَرْغَبُ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي }

             3. Tafsir al Qurthubi
·         Biografi
Al-Qurtubi adalah salah seorang mufassir dan seorang alim yang mumpuni.[13] Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Ali Abi Bakar bin Faraj Al Ansari Al Hajraji Al-Andalusi Al-Qurtubi.[14] Beliau termasuk salah seorang ulama yang dilahirkan di Spanyol, dimana dan kapan tepatnya berkaitan dengan kelahiran beliau tidak diketahui. Ia adalah hamba Allah yang saleh, bijaksana, wira’i dan zuhud. Beliau menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan yang bisa menolong kearah akhirat dan untuk mencari keridloan Allah, beribadah dan mengarang. Beliau merantau keluar daerahnya (Al-Makary) untuk belajar ilmu-ilmu agama, sehingga menjadi sarjana yang teliti dan kehidupannya cenderung asketisme dan selalu meditasi tentang kehidupan setelah mati. Al-Qurtuby telah belajar ilmu-ilmu agama kepada para ulama di masanya. Diantara para gurunya yang terkenal adalah Abu Abbas Ahmad bin Umar Al Qurtuby yang mempunyai kitab Shahih Muslim. Tokoh ini seorang guru ulama salaf yang terkenal ahli bahasa Arab.Sebagai seorang ulama al-Qurthubi termasuk faqih dari kalangan mazhab Maliki, Imam al-Qurthubi meninggalkan fanatisme jauh-jauh serta menghargai setinggi-tingginya perbedaan pendapat. Imam al-Qurthubi tidak senantiasa sependapat dengan Imam Mazhabnya dan ulama’ lain, baik di dalam maupun di luar mazhabnya, namun tidak mengundang polemik. Tafsirnya, al-Jami’ fi Ahkam al-Quran, merupakan suatu karya Ensiklopedis yang menyatukan hadits dengan masalah-masalah ibadah, hukum dan linguistik.

·         Pengenalan kitab ‘al jami’ fi ahkam al Qur’an’
            Metode yang digunakan al-qurtubi dalam menyusun tafsirnya dapat di golongkan sebagai tafsir tahlili atau analitik. Karena dalam penyusunannya dengan menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan runtutan dalam mushaf al-quran. Sedangkan dalam rangka menerangkan yang terkandung dalam ayat dilakukan melalui beberapa cirri yaitu ciri kebahasan, munasabah ayat, hubungan ayat dengan hadis, hubungannya dengan sosial histori kultural.[15]
            Adapun yang dapat kita jumpai dalam tafsir  imam al Qurthubi dalam kitab tafsirnya ‘al jami fi ahkamil Qur’an’ adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan sebab turunnya ayat.
2. Menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta menjelaskan tata bahasanya.
3. Mengungkapkan periwayatan hadits.  
4. Memilah-milih perkataan fuqaha, dan mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.
5. Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.

·         Contoh penafsiran al Qurthubi
            al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh, dapat diketemukakan ketika ia membahas surat al Baqarah, 187:
(#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 ....ÇÊÑÐÈ
        ......Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,.....
Pada ayat ini, al Qurthubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan.
الثانية عشرة : قال مالك والشافعي وأبو ثور وأصحاب الرأي : إذا أكل ناسيا فظن أن ذلك قد فطّره فجامع عامدا أن عليه القضاء ولا كفارة عليه. قال ابن المنذر : وبه نقول. وقيل في المذهب : عليه القضاء والكفارة إن كان قاصدا لهتك حرمة صومه جرأة وتهاونا. قال أبو عمر : وقد كان يجب على أصل مالك ألا يكفر ، لأن من أكل ناسيا فهو عنده مفطر يقضي يومه ذلك ، فأي حرمة هتك وهو مفطر. وعند غير مالك : ليس بمفطر كل من أكل ناسيا لصومه.
قلت : وهو الصحيح ، وبه قال الجمهور : إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام ، لحديث أبي هريرة قال قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم : "إذا أكل الصائم ناسيا أو شرب ناسيا فإنما هو رزق ساقه اللّه تعالى إليه ولا قضاء عليه - في رواية - وليتم صومه فإن اللّه أطعمه وسقاه" . أخرجه الدارقطني. وقال : إسناد صحيح وكلهم ثقات. قال أبو بكر الأثرم : سمعت أبا عبدالله يسأل عمن أكل ناسيا في رمضان ، قال : ليس عليه شيء على حديث أبي هريرة. ثم قال أبو عبدالله مالك : وزعموا أن مالكا يقول عليه القضاء وضحك. وقال ابن المنذر : لا شيء عليه ، لقول النبي صلى اللّه عليه وسلم لمن أكل أو شرب ناسيا : "يتم صومه" وإذا قال "يتم صومه" فأتمه فهو صوم تام كامل.
قلت : وإذا كان من أفطر ناسيا لا قضاء عليه وصومه صوم تام فعليه إذا جامع عامدا القضاء والكفارة - واللّه أعلم - كمن لم يفطر ناسيا. وقد احتج علماؤنا على إيجاب القضاء بأن قالوا : المطلوب منه صيام يوم تام لا يقع فيه خرم ، لقوله تعالى : {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ} وهذا لم يأت به على التمام فهو باق عليه ، ولعل الحديث في صوم التطوع لخفته. وقد جاء في صحيحي البخاري ومسلم : "من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه"

Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:

إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”










































[1]  Muhammad Amin Suma, (Prof. Dr.) Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an,  (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001),
    Jilid 2 hal.  139.
[2]  Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufasirun, hal. 303.
[3]  Ibid, hal.303.
[4]  Ibid, hal.302.
[5] Muhammad Husain Al Zahabi, Al Tafsir wa Al Mufassiruun, Daar Al Maktabah Al
Harisah, Mesir, 1976, hlm. 485
[6] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1992, hlm. 485
[7] Muhammad Husain Al Zahabi, op. cit., hlm. 485
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000, hlm. 32-33\
[9] (Al Masni: 1991)
[10]  Al-Daudi, 1994; Al-Suyuti, 1976
[11] Ibnu Baskual, 1989. Al-Masni,1991
[12] Abu Sulaiman, 1995
[13] As-Sayyid Muhammad ‘Ali Iyaziy, Al Mufassiruun Hayatun wa Minhajuhum wizarah
as-saqafah wa Al-Irsyad Al Islamy, Teheran, 1414 H., hlm 409.
[14]Muhammad Husain Al Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz , Daar Al-Maktabah Al
Harisah, Mesir, 1976, hlm. 457
[15]Manna’ Khalil Al-Qattan, op.cit., hlm. 514

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates