Social Icons

Pages

Sunday, 1 May 2016

MAKALAH FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN

Awalnya filsafat hanya terfokus pada kajian filsafat alam dan filsafat manusia. Tetapi seiringnya waktu berjalan, saat ini kajian filsafat tidak hanya terfokus dalam filsafat alam dan filsafat manusia saja tetapi filsafar kebudayaan, filsafat bahasa bahkan filsafat ilmu pengetahuan.
Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah salah satu cabang dari filsafat yang sudah diminati sekitar abad ke-17, namun semenjak abad ke-20 filsafat ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan yang besar, sehingga sebagian orang tidak sanggup mengikuti arus perkembangannya karena beragamnya jurusan. Saat ini sudah ada sekitar 230 jurusan. Awalnya ilmu hanya ada dua yaitu ilmu alam dan ilmu sosial. Tetapi sudah berkembang pesat terutama ilmu alam. Semakin banyak jurusan maka semakin spesifik keilmuan saat ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Filsafat Ilmu Pengetahuan Dalam Sistematika Filsafat
Sebelum menjelaskan kedudukan filsafat ilmu pengetahuan dalam sistematika filsafat, pengertian ataupun definisi filsafat haruslah dipahami terlebih dahulu. Kata filsafat (philosophia) terdiri atas kata philein yang berarti “cinta” dan sophia yang berarti “kebijaksanaan”, sehingga secara etimologi filsafat berarti “cinta kebijaksanaan” dalam arti yang sedalam-dalamnya. Sedangkan secara terminologi filsafat dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukannya mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan sesuatu adalah sesuatu itu. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. Ada/being merupakan implikasi dasar. Jadi segala sesuatu yang mempunyai kualitas tertentu pasti dia adalah being. Filsafat mempunyai tujuan untuk membicarakan keberadaan. Jadi, filsafat membahas lapisan yang terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah-masalah yang paling dasar.[1]
Selanjutnya mengenai filsafat ilmu, Perlu diketahui bahwa Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dibagi menjadi dua jenis yaitu pengetahuan yang berasal dari diri manusia itu sendiri dan pengetahuan yang berasal dari luar manusia atau biasa disebut dengan wahyu. Teradapat tiga kategori pengetahuan yaitu :

·         Pengetahuan indera adalah kemampuan manusia yang dapat melihat, mendengar, peka terhadap sentuhan, dapat mencium sesuatu dan dapat merasakan rasa itu merupakan pemikiran langsung yang bertumpu pada panca indera dan batasnya sampai kepada segala sesuatu yang tidak terperangkap oleh panca indera.
·         Pengetahuan ilmu adalah manusia berpikir kemudian hasil pemikirannya dilakukan eksperimen. Setelah itu dilakukan dengan sistematika dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannyayang bertumpu pada kegiatan otak dan tangan dan batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian.
·         Pengetahuan filsafat adalah manusia memikirkan segala sesuatu secara sistematika, radikal dan universal bertumpu pada otak saja dan batasnya adalah batas alam, namun manusia mencoba memikirkan diluar alam yaitu agama Tuhan.[2]

Selanjutnya mengenai filsafat ilmu, filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan serta kedudukannya dalam sistematika filsafat. Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.[3] Sedangkan filsafat pengetahuan (epistemologi) adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan, adapun yang dibahas antara lain adalah asal mula, bentuk atau struktur, dinamika, validitas, dan metodologi, yang bersama-sama membentuk pengetahuan manusia.[4] Filsafat pengetahuan bertugas untuk menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab musabab pertama.[5] Seperti pokok pembahasannya apa pengetahuan itu benar, dapat dipercaya, tidak berubah- ubah ataupun berkembang, jika pengetahuan berkembang seperti apa perkembangan pengetahuan itu sendiri, jika pengetahuan itu benar apa yang bukti bahwa pengetahuan itu benar, jika pengetahuan itu dapat dipercaya apa sebab pengetahuan itu dapat dipercaya, jika pengetahuan tidak berubah- ubah apa penyebab itu terjadi.
Gejala pengetahuan tersebut dapat dilihat sebagai objek material filsafat pengetahuan, yang masih dapat dibagi lagi lebih lanjut menjadi filsafat pengetahuan secara umum yang mempelajari pokok-pokok bahasan umum dan filsafat ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala ilmu-ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang pengetahuan  khas menurut sebab musabab terakhir.[6]
Apa yang disebutkan diatas merupakan gejala pengetahuan yang dapat dilihat sebagai objek material filsafat pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai pengetahuan yang diatur berdasarkan sistematika dengan langkah- langkah pencapaiannya serta dapat dipertanggung jawabkan secara benar dan teoritis. Ilmu pengetahuan terbagi atas ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Sedangkan filsafat ilmu pengetahuan dibedakan menurut bidang ilmu pengetahuan yang disoroti dan melihat dari hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain.

B.     Pemahaman Tentang Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu.[7] Pengetahuan itu sendiri berlangsung dalam dua bentuk dasar berbeda. Bentuk yang satu ialah mengetahui demi mengetahui saja dan untuk menikmati pengetahuan itu demi memuaskan hati manusia. Sedangkan bentuk lainnya ialah pengetahuan untuk digunakan dan diterapkan, misalnya untuk melindungi dan membela diri, memperbaiki tempat tinggal,  mempermudah pekerjaannya, memperlancar hubungan orang satu sama lain, mencegah bencana, meningkatkan kesehatan dan lain sebagainya.[8]
Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Dalam bahasa Jerman wissenschaft. The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.[9] Untuk menerangkan kekhususan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya, kita bertitik pangkal pada gejala “kesadaran akan pengetahuan” yang terdapat dalam setiap tindakan pengetahuan itu sendiri secara tersirat. Apabila unsur tersirat itu diucapkan menjadi tersurat, maka terjadilah apa yang disebut refleksi. Berkat refleksi, pengetahuan yang semula langsung dan spontan, memang kehilangan kelangsungan dan spontanitasnya, tetapi serentak pengetahuan itu mulai cocok untuk diatur secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan. Itulah kiranya yang terjadi dalam pembentukan ilmu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, yang dikumpulkan lalu diatur dan disusun. Diharapkan, bahwa apa yang tadinya sudah diketahui secara umum, dalam ilmu pengetahuan akan diketahui dengan lebih masuk akal. Jika dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya, jelaslah bahwa hasil pengetahuan semakin mengorbankan sifat konkret pengetahuan langsung demi semakin nampaknya suatu susunan menyeluruh yang bersifat abstrak.[10]

C.    Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu Pengetahuan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, filsafat pengetahuan (epistemologi) adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan sedangkan filsafat ilmu pengetahuan adalah bagian dari filsafat pengetahuan yang mempelajari gejala ilmu-ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang pengetahuan  khas menurut sebab musabab terakhir. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab musabab dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat ini menggali faham tentang “kebenaran”, “kepastian”, dan tahap-tahapnya, “objektivitas”, “abstraksi”, “intuisi” dan juga pertanyaan mengenai “darimana asalnya dan kemanakah arah pengetahuan”.
Filsafat ilmu pengetahuan tentu saja juga membicarakan semua itu. Namun, karena sudah meneliti dan membicarakan sebab musabab pertama, filsafat ilmu pengetahuan dalam hal ini tidak dapat menambah sesuatu yang baru lagi. Akan tetapi, karena semua pokok itu perlu disoroti dalam rangka filsafat ilmu pengetahuan, maka lebih dulu secara terinci akan kita lihat kekhususan ilmu pengetahuan kalau dibandingkan dengan gejala pengetahuan secara umum. Padahal perbedaan itu terletak pada sifat teratur dan sistematis yang nampak dalam ilmu pengetahuan agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis dan reflektif. Dengan kata lain, cara kerja atau metode ilmu pengetahuanlah yang menjadi ciri ilmu, kalau dibandingkan dengan pengetahuan sehari-hari.[11]

BAB III
KESIMPULAN

Pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai hal diantaranya melalui panca indera. Pengetahuan dapat dikembangkan menjadi sebuah ilmu jika pengetahuan itu dapat diteliti, sistematis, dan dapat diuji kebenarannya secara teoritis. Manusia sebagai makhluk yang bisa berpikir harus bangga terhadap hasil karyanya karena manusia bisa menciptakan ilmu. Ilmu telah mampu menguasai alam dan juga membantu sesama manusia. Tetapi ilmu dan teknologi sudah disalahgunakan. Karena ilmu dan teknologi telah menguasai alam, manusia serakah terhadap alam, mengeksploitasi alam, mementingkan kepentingan manusia tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Terbukti dengan pemanasan global.
Seharusnya kita sebagai manusia harus bisa mempergunakan ilmu dan teknologi dengan sebaik- baiknya. Agar bisa menghargai alam bukan hanya menguasai alam semesta.










DAFTAR PUSTAKA


C. Verhaak dan R. Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:PT Gramedia.

Dr. Anton Bakker dan Drs. Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

 Jujun S. Suriasumantri. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

 Prof. I.R. Poedjawijatna. 2002. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Sidi Gazalba. 1990. Sistematika Filsafat. Jakarta : PT Bulan Bintang.




[1] Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet.IV, h. 3-6
[2] Sidi Gazalba. 1990. Sistematika Filsafat. Jakarta : PT Bulan Bintang. hlm 4-8 Sidi Gazalba. 1990. Sistematika Filsafat. Jakarta : PT Bulan Bintang. hlm 4-8
[3] Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.III, h. 64
[4] Drs. A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), Cet.II, h. 136
[5] C. Verhaak dan R. Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:PT Gramedia. hlm 3
[6] C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: 1991), Cet.II, h. 3
[7] Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.III, h. 62
[8] C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: 1991), Cet.II, h. 4
[9] Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.III, h. 62
[10] C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: 1991), Cet.II, h. 8
[11] Ibid, h. 12-13

MAKALAH KITAB HADITS QUDSI DAN MUTAWATIR

I. PENDAHULUAN

Hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran agama Islam kedua setelah al-Qur’an.[1] Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk hadits Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti Kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan Kitab al-Hadits al-Qudsiyah, dan lain-lain. Kitab-kitab ini terdapat perbedaan dalam pengarangnya, penyusunannya baik metode dan sistematika penulisannya, standar yang digunakan dan isi kitabnya. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang sama dalam menyusun karya-karyanya.

II. PEMBAHASAN

A. Kitab al-Hadits al-Mutawatirah
1. Pengertian
Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-mutawatirah lebih mendalam, ada baiknya terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-mutawatirah itu sendiri. Secara bahasa, mutawatir merupakan isim fa’il, pecahan kata dari tawatara yang berarti tataba’a (berturut-turut, beriring-iring).[2] Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang (rawi), yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.[3] Dalam ilmu hadits, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad.
Kata-kata “sejumlah rawi” artinya jumlah itu tidak dibatasi dengan bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka lupa secara serentak. Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena itu, sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh orang, maka haditsnya dinilai mutawatir. Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain lagi membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang dari dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi zina itu adalah empat orang. Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita.
           
2. Kitab-kitab yang membahas hadits mutawatir
Para Ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir, lalu menjadikannya sebagai kitab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab itu:
a.       Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab.
b.      Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu.
c.       Nadhamu Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir. Karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.

Kitab al-Hadits al-Mutawatirah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu kitab Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah.

3. Biografi Pengarang
            Jalaluddin As-Suyuthi dilahirkan pada tahun 849 H/ 1445 di kota Kairo. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Ad-Dhin bin Fakhr Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Himamuddin Al-Hammam Al-Hudairi As-Suyuthi. Bergelar Jalaluddin dan akrab dipanggil Abu Fadhil. Nama panggilan ini adalah pemberian dari gurunya, Al-Izzu Al-Kanani Al-Hanbali. Namun di kemudian hari ia lebih dikenal dengan nama As-Suyuthi, yang dinisbatkan kepada ayahnya yang dilahirkan di daerah Suyuth.[4] Perjalanan mencari ilmu dalam pengembaraannya mencari ilmu, As-Suyuthi singgah ke beberapa negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, India dan Maroko. Ia berguru kepada sejumlah ulama besar, diantaranya: Jalaluddin Al-Mahalli Ahmad bin Ali Ayamsahi (ulama fara'id), Al-Bulqaini (ulama fiqih) As-Syamani (ulama hadits, ushul fiqih, teologi dan nahwu), Al-Izzu Hanbali (ulama hadits, bahasa Arab, sejarah). Hidup Syeikh as-Suyuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Begitu usianya menginjak 40 tahun Syeikh as-Suyuthi mengasingkan dirinya di rumah dalam kamar khusus yang disebut “Raudhah al-Miqyas” dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Sehingga dalam waktu 20 tahun saja Syeikh as-Suyuthi telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul.
Beliau wafat pada malam jum’at, tanggal 19 Jumadal Ula 911 H, dan beliau dimakamkan di pemakaman Qaushuun, di luar pintu gerbang Qarafah di daerah al-Suyuth Kairo.

4. Metode dan Sistematika
            Adapun metode yang dilakukan oleh As-Suyuti adalah maudhu’i, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yaitu As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits dengan mengurutkan berdasarkan bab-bab dan menyebutkan beserta perawi-perawi dari kalangan sahabat tanpa menyebutkan jalannya sanad setiap hadits.[5] As-Suyuti mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai syarat-syarat kemutawatiran hadits, yang mana para perawi hadits tersebut harus lebih dari sepuluh disetiap tabaqat.

5. Kandungan Kitab
Kitab hadits al-Azhar al-Mutanaatsirah fi al-Akhbaar al-Mutawaatirah ini merupakan kitab ringkasan yang disusun menurut bab-bab sebagaimana aslinya dan memuat 113 hadits-hadits mutawatir. Diantara isi kitab al-Hadits al-Mutawatir adalah beberapa syi’ar Islam, beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat, wudhu’, dan puasa, dan yang lainnya. Sedangkan, dilihat dari sistematika penulisan kitab dan isi kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-mutawatir adalah pertama-tama kita harus mengetahui bab hadits yang akan kita cari, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan bab tersebut.


B. Kitab al-Hadits al-Qudsiyah

1. Pengertian
Sebelum kita membahas kitab-kitab hadits al-qudsiyah lebih mendalam, alangkah baiknya terlebih dahulu kita bahas pengertian hadits al-qudsiyah. Menurut bahasa, qudsi artinya yang disandarkan kepada kesucian. Sedangkan menurut istilah, hadits qudsi artinya hadits yang dalam matannya ada perkataan yang disandarkan kepada Allah swt.
Dalam ilmu hadits, hadits qudsi adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw dan disandarkannya kepada Allah swt. Menurut Maulana Ali al-Qari Hadits al-Qudsiyah adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh sumber para rawi (rasul) dan sumber kepercayaan dari Allah swt. Sekali waktu dengan perantara Jibril ra dan sekali waktu dengan wahyu atau ilham atau tidur. Ungkapan (susunan kalimatnya) diserahkan kepada kemauan beliau dengan susunan yang bagaimanapun macamnya. Menurut pendapat Al Allamah Syahabuddin ibnu Hajar Al Haitami dalam sejarah Ar Ba’in yang dinamakan dengan Fathul Mubin. Bahwa hadis qudis lebih dari seratus buah dan telah dikumpulkan oleh sebagian ulama dalam suatu juz.[6]

2. Kitab-kitab yang membahas hadits qudsiyah
Para ulama telah mengumpulkan hadits-hadits qudsiyah dalam satu kitab. Diantara kitab-kitab yang membahas tentang al-Hadits al-Qudsiyah adalah:
a.       Al-Ittifahatu as-Saniyah fi al-Ahadits al-Qudsiyah, karya Muhammad Bin Mahmud Bin Shaleh Bin Hasan ath-Thurbazuni; dan
b.      Kitab Al-Hadits al-Qudsiyah. Yang disusun bab per bab.
Kitab al-Hadits al-Qudsiyah yang akan dikaji dan ditelaah dalam pembahasan kali ini yaitu kitab Al-Ittifahatu as-Saniyah fi al-Ahadits al-Qudsiyah.

3. Biografi pengarang
Nama lengkap Muhammad Bin Mahmud Bin Shaleh Bin Hasan ath-Thurbazuni atau yang lebih dikenal dengan al-Madani. Beliau adalah seorang ulama abad ke-12 H[7] dan juga seorang yang faqih dalam ilmu-ilmu syair. Beliau telah menghasilkan karya-karya tulis yang begitu banyak. Beliau meninggal pada tahun 1200 H.

4. Metode dan Sistematika penulisan hadits:
a)      Menyebutkan orang yang meriwayatkan hadits (mukhorij hadits tersebut);
b)      Menyebutkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits
c)      Terkadang menyebutkan kwalitas haditsnya, apakah hadits itu shahih atau dhoif.
d)     Hadits yang dimulai dengan lafadz قال diurutkan berdasarkan فاعل yang mana fail tersebut menggunakan lafadz الله .[8]
e)      Hadits-hadits yang dimulai dengan lafadz يقول maka failnya adalah الله walaupun ditulis dengan jelas lafadz الله tersebut atau tidak.Contoh : يقول الله atau يقول الرب atau dengan lafadz يقول عزّ وجلّ .[9]
f)       Apabila hadits-hadits itu tidak dimulai dengan kedua lafadz diatas ( قال atau يقول ), maka hadits-haditsnya diurutkan berdasarkan huruf hijaiyah yang pertama dan kedua.[10] Contoh : hadits itu dimulai dari hamzah dengan alif, kemudian hamzah dengan ba’ dan seterusnya.

5. Kandungan kitab
Kitab al-Hadits al-Qudsiyah ini berisi tentang kumpulan hadits-hadits qudsiyah yang di dalamnya memuat berbagai macam permasalahan agama Islam, diantaranya : keutamaan dzikir dan kalimat tauhid, membenarkan aqidah, kemurahan Allah swt, persediaan Allah yang akan diberikan kepada hamba-Nya, panggilan Allah swt kepada hamba-Nya untuk berdoa dan berharap kepadaNya, infaq dan keutamaannya, puasa dan keutamaannya, sifat Nabi saw dalam taurat, balasan bunuh diri, ikhlas dalam beramal, penciptaan alam dan lain-lain. Sumber-sumber pengambilan hadits-hadits qudsi tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadits sebagai berikut :[11]
v  Kitab Muwatha’ karya Imam Malik;
v  Kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhori;
v  Kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim;
v  Kitab Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud;
v  Kitab Jami’ at-Turmudzi karya Imam at-Turmudzi;
v  Kitab Sunan an-Nasa’I karya Imam Nasa’I; dan
v  Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah.

6. Cara menggunakannya
Dilihat dari metode dan sistematika penulisan kitab, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara menggunakan kitab al-hadits al-qudsiyah ini adalah pertama-tama kita harus melihat lafadz depan hadits tersebut, kemudian kita mencari haditsnya sesuai dengan lafadz tersebut. Karena kitab ini tersusun berdasarkan lafadz depan hadits.


III. PENUTUP
A. Kesimpulan

Para ulama telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits qudsiyah, lalu menjadikannya sebagai kiab khusus (musnad) tersendiri, untuk memudahkan para penuntut ilmu merujuk kepadanya. Diantara kitab-kitab hadits mutawatir itu adalah Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah. Karya Imam Suyuthi, yang tersusun menurut bab per bab, Quthafu Al-Azhar. Karya Imam Suyuthi yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang terdahulu. Kemudian diantara kitab-kitab hadits qudsiyah itu adalah Al-Ittihafatu as-Saniah bi al-Ahadits al-Qudsiyah karya Zainuddin Abdurra’uf Al-Hadadi dan al-Ahadits al-Qudsiyah karya Lembaga al-Qur’an dan al-Hadits majelis tinggi urusan agama Islam kementrian waqaf mesir. Setelah kita kita kaji dan telaah lebih dalam mengenai kitab al-Hadits al-Mutawatirah dan kitab al-Hadits al-Qudsiyah, kita dapat mengetahui bahwa kedua kitab tersebut mempunyai metode dan sistematika penulisan yang berbeda untuk memudahkan dalam mencari atau menemukan hadits-hadits baik itu hadits mutawatir ataupun hadits qudsi.

B. Kritik dan Saran
            Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan semoga bisa menambah pengetahuan kita semua. Pemakalah sangat menyadari bahwasanya masih banyak kekurangan pada makalah ini, maka dari itu kami meminta kritikan dan sarannya guna menyempurnakan makalah kami, dan kami juga meminta maaf atas segala kesalahan yang ada pada makalah kami.

























DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.

As Suyuthi, Jalaludin, Al Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah.

Baidhowi, M. Ali, Al-Ahadits al-Qudsiyah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2002.

Ismail, DR. M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Madani, Muhammad, al Ittihafat as Saniah fi al Ahadis al Qudsiah, Bairut, Libanon :Darul Jil.

Qadir Hassan, A, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.























































[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta : (Bulan Bingtang, 1992) H.3
[2] Dr. Mahmud Thohhan, Taisir Mushtholah al Hadis, hal. 19
[3] Dr. Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 31-32
[4]Dr. Musthofa Syik’ah, Jalaludin as Suyuthi, hal. 71
[5]As Suyuthi, Qhotfu al azhar al mutanasiroh fil akhbar al mutawatiroh, hal. 21
[6] M. Hasby Asy Shiddieqy, Pokok-Pokok ilmu dirayah hadisih. 354.
[7] Muhamad al Madani, al Ittihafat as Saniyah fi al ahadis al Qudsiyah, hal. 13
[8] Ibid, hal. 13
[9] Ibid, hal. 14
[10] Ibid, hal. 14
[11] Ibid, hal 14-15
 
Blogger Templates