BAB I
PENDAHULUAN
Gerakan pembaharuan islam, pada
awalnya muncul sebagai intellectual terhadap berbagai bentuk penyimpangan dalam
pemahaman maupun pengamalan Islam dikalangan masyarakat. Menurut ulama kaum
muda, penyimpanagan yang telah lama berurat akar itu disebabkan oleh begitu
kuatnya otoritas keagamaan yang semata-mata dipegang oleh ulama sehingga umat
tidak punya pilihan lain kecuali mengikutinya tanpa taqlid. Pada gilirannya, corak
keberagamaan yang seperti ini bukan hanya menyebabkan terabaikannya
persoalan sejauh mana pemahaman dan pengamalan itu benar-benar sebagaimana yang
diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tapi lebih dari itu, tidak akan dapat
memfungsikan islam sebagai pendorong kemajuan umatnya. Fenomena keberagaman
yang seperti inilah yang mendorong terjadinya reorientasi pemahaman keagamaan
masyarakat dengan melalui ijtihad meruju’ langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah
dan atas dasar itu membersihkan pemahaman agama umat dari segala bentuk
penyimpangan yang sudah lama ada.[1]
Kendati pada awalnya merupakan
gerakan intelektual, gerakan pemurnian yang dilakukan ternyata menimbulkan
implikasi social yang hebat dengan munculnya berbagai bentuk konflik di
masyarakat yang sebelumnya tidak ada. Sebagai puncak dari konflik tersebuat
adalah pecahnya masyarakat. Seperti yang terjadi di Minangkabau. Karena bagi
masyarakat minangkabau, Islam bukan sekedar agama dan sumber identitas saja.
Tetapi juga menjadi salah satu pilar penting selain adat yang membentuk
struktur social masyarakat minangkabau.
BAB
II
PEMBAHASAN
Integrasi
Pemahaman Aqidah dengan Budaya
Agama
Islam menyebar pada komunitas yang umumnya telah memiliki tradisi atau adat
istiadat yang sudah berakar dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang
mereka. Islam ketika berhadapan dengan adat yang sudah mapan dituntut
menunjukan kearifannya. Islam dalam realitasnya mampu menampakkan kearifannya,
yang ditandai dengan pendekatan dakwah secara damai dan bertahap atau pelan-pelan,
bukan sebaliknya dengan cara frontal.
Berangkat
dari cara seperti itu menjadikan masuknya Islam di Nusantara ini tidak banyak
mendapatkan hambatan dan rintangan. Hal ini terutama disebabkan oleh perwajahan
Islam sebagai sosok ajaran yang akomodif, dinamis, dan melindungi tradisi yang
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia pra Islam.[2]
Dalam
perkembanagannya Islam tidak dapat dipisahkan dengan budaya, bahkan Islam
merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya. Namun, apakah pengertian budaya
dan bagaimana Islam memandangnya? Budaya adalah kelakuan yang berlaku pada
masyarkat dan lingkungan tertentu. Dahulu kebiasaan memberikan makanan untuk
berhala adalah budaya dikalangan masyarkat jahiliyah Arab. Namun, setelah Rasul
datang beliau mengubah kebiasaan jahiliyah tersebut, dan menggantikannya dengan
ajaran Islam. Misalnya kebiasaan memberikan makanan untuk berhala, diganti
beliau dengan mengajarkan bersedekah. Begitu pula pada generasi berikutnya,
wali Sembilan di Jawa misalnya. Para wali mengubah kebiasaan atau budaya
masyarakat pada saat itu, dan menggantinya dengan kegiatan yang bernilai
ibadah.
Misalnya, sekatenan. Sekaten adalah sebuah upacara kerajaan
yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan
Demak. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam
agama Islam, Syahadatain. Para pengunjung sekatenan yang menyatakan
ingin “ngrasuk” agama Islam setelah mengikuti kegiatan syiar agama
Islam tersebut, dituntun untuk mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat (syahadatain).
Dalam pengamalannya Islam tidak membumi hanguskan semua budaya tersebut. Bahkan
terjadi akulturasi antara Islam dan budaya. Di mana budaya menjadi sebuah
metode/alat untuk menyampaikan Islam.[3]
Setiap masyarakat mempunyai tradisi yang turun-temurun
dilakuakan masyarakat, meskipun kadang-kadang tidak semua masyarakat mengerti
tentang apa yang dilakukan nenek moyangnya. Nilai-nilai budaya dan adat
istiadat tersebut jika dilihat dari kacamata Islam maka akan tidak dapati
sebagian dari amal atau praktek budayanya bertentangan dengan prinsip-prinsip
kebenaran, dipihak lain juga terdapat sebagai ritual ibadah maupun praktek
sosial mereka dibenarkan oleh syariat Islam.
Dinamika Pemahaman Pemurnian Islam
Islam semakin
berkembang dan zaman pun silih berganti. Dari masa ke masa tiap kerajaan
mengalami keruntuhan hingga masuklah pada era kolonialisme. Selama berabad-abad
masyarakan Indonesia yang bernotabene muslim mengalami penindasan-penindasan,
kemiskinan, kelaparan dan bahkan kebodohan. Hingga pada akhirnya timbulah
pemahaman baru dalam Islam di mana perlu adanya pemurnian dalam ajarannya. Pembaruan atau pemurnian secara etimologi
bahasa Arab berakar pada kata (جديد ),
yang menunjukan kepada tiga arti pokok :
(1) keagungan,
(2) bahagian,
(3) pegangan.
Kata ini kemudian
berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui” sebagai lawan dari usang.[4]
Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni :
(1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami
orang lain;
(2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman;
Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata
pembaharuan, modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat
umpamanya dalam ”aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”.
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk merubah faham-faham, adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan
sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.[6]
Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan
untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.
Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai
menghidupkan kembali amalan al Quran dan al Sunnah yang pernah aktual dan
menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut.[7] Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan
antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan
memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[8]
Prof. Dr. H. Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah upaya-upaya
untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[9]
Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah,
mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya
mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan
zaman. Hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan
para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu
dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain
sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang munkin masih banyak yang
relevan dan masih dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang tidak
sesuai lagi.[10] Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula
berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang teradapat di dalam al Quran dan as Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang
dikehendaki al Quran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.[11]
Dengan demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah
aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi
baru lagi dan untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada konteksnya
semula.
Contoh-contohnya :
Alquran misalnya
mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern
serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai sebagai suatu
keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka,
menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain
sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan yang berbeda. Sebagian
besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan
modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup dalam keadaan penuh
pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis,
memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan
produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu,
kurang terbuka dan lain sebagainya.
Sikap dan pandangan
hidup seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Al-Sunnah, dan
hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran
Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap
dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Alquran dan Al-Sunnah.
Untuk memperluas pembahasan ini, kami mencoba menampilkan beberapa tokoh
yang memiliki dasar pemikiran pemurnian dalam Islam.
a.
Tiga ulama Sumatra
Adapun tiga
ulama yang dimaksud ialah Syeikh Muhammad Djamil Djambek[12]
(yang tertua), Syeikh ‘Abdullah Ahmad[13]
dan Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah[14].
Syeikh ‘Abdullah Ahmad menetap di kota Padang dan beliau sendirilah yang
mengepalai penerbitan “Al-Munir”. Syeikh
Djamil Djambek ahli falak dan
beliaulah yang mula-mula menyatakan
pendapat bahwa memulai dan menutup
puasa Ramadhan boleh dengan memakai hisab dan beliau amat ahli memikat hati orang supaya kuat
beribadah dan membantah keras kepercayaan-kepercayaan yang salah tentang tasawuf. Syeikh ‘Abdul Karim
Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dia menyatakan dengan
terang-terangan dalam satu bukunya
bahwa beliau membantah faham yang menyatakan
pintu ijtihad telah tertutup. Beliau
mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader- kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum. Dan Syeikh ‘Abdullah Ahmad
adalah seorang pengarang dan wartawan, yang dengan penanya dapat menyiarkan
fahamnya, bukan saja kepada orang
kampung, bahkan dalam kalangan orang-orang
yang berpendidikan barat.
Didalam “Al-Munir” itulah
Syeikh ‘Abdul Karim
Amrullah menjawab segala
soal yang berkenaan
dengan hukum-hukum
agama dan menyatakan fatwanya yang mulai kelihatan perbedaannya dengan faham-faham yang biasa. Adapun kegoncangan yang pertama timbul ialah setelah keluar buku “Al- Fawaid Al-‘Aliyyah” yang dikhususkannya untuk menyatakan bahwa melafalkan niat “ushalli”
dipermulaan sembahyang itu
tidaklah berasal daripada Rasul, dan tidak diperbuat oleh sahabat-sahabatnya dan
tidak pula oleh Imam-Imam madzhab
yang empat.
Selain dari itu, mulailah mereka mengubah Khutbah Jum’at.
Selama ini khutbah Jum’at hanya
dalam bahasa ‘Arab saja.
Yang lebih dahulu tidak faham adalah khatibnya sendiri
sebelum orang
yang mendengar. Mereka mengeluarkan fatwa bahwa boleh khutah dalam
bahasa yang difaham oleh umat di tempat itu, dan kalau yang memakai bahasa
‘Arab juga cukuplah rukun-rukunya
saja, supaya ada faedah bagi khutbah itu yang bermaksud memberi petunjuk
dan ajaran kepada kaum Muslimin.
Atas pemikiran mereka, timbullah reaksi daripada
`Ulama yang bertahan pada yang lama.
Dan reaksi itu amat hebat. `Abdul Karim Amrullah
dan kawan-kawannya
dituduh telah keluar dari Mazhab, bahkan telah
talfiq dalam mazhab, sebab memakai
alasan dari kitab Zadul Ma`ad, karangan
Ibnul Qayyim, yang bukan seorang `Ulama Mazhab Syafi'i, tetapi bermazhab
Hanbali dan banyak pula fatwanya yang disalahkan oleh `Ulama dizamannya. Dan apabila telah talfiq dalam mazhab,
niscaya keluarlah dia dari Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah.
Untuk itu, mereka
menerbitkan pula satu majalah
bernama “Al-Mizan". Mereka menamakan
diri mereka “Kaum Tua" yang setia memegang
Mazhab dan menggelari 'Ulama
Angkatan Baru itu “Kaum Muda" yang keluar dari
Mazhab.[15]
Selain tiga ulama diatas, muncul pula ulama lain yang
sepaham, diantaranya : Syekh Muhammad Thaib Tanjung
Sungayang, Syekh 'Abdullatif Rasyid dan saudaranya Syekh Daud Rasyid Balingka, Syekh 'Abbas 'Abdullah dan saudaranya Syekh Mustafa 'Abdullah Padang Japang, Syekh
'Abdurrasjid Maninjau, Tuanku Laut Lintau, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek.
Yang satu inilah yang sekarang
masih hidup. Beliau-beliau itu
menerima murid-murid belajar pada
pondoknya masing- masing. Maka
negeri-negeri Padang Panjang,
Bukittinggi, Parabek, Padang Japang, Tanjung
Sungayang, penuhlah dengan murid-murid yang belajar agama yang mulai memakai susunan
cara baru. Seluruh madrasah
itu pada tahun 1918 digabungkan dalam
satu organisasi bernama “Sumatera
Thawalib".
b. K.H. Ahmad Dahlan
Kyai
Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H.
Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu,
dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat
penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.[16]
Menurut Ahmad Dahlan, upaya
strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju
pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya
ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.[17]
Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut,
Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan
karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan,
setidaknya ada tiga poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait
dengan lembaga pendidikan: Landasan
Pendidikan, Tujuan Pendidikan, Materi pendidikan, Model
Mengajar, Ijtihad
Sistem Pengajaran.[18]
c.
Harun
Nasution
Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah
banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud seperti diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di Mesir,
sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide
pemabaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang teradapat
dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali
pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap
dualisme dalam bidang pendidikan.[19]
Sementara itu, Sayyid
Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, berpendapat bahwa untuk
mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalism)
diganti dengan paham qadariah (free will dan free act), perlu
percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Alquran tidak
bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan
paham taklid diganti dengan paham ijtihad.[20] Beberapa ajaran Islam (bidang muamalah) pada masa awal perkembangannya juga
berada dalam kondisi aktual. Tetapi, dengan terjadinya pergeseran situasi dan
kondisi, maka ajaran-ajaran itu telah banyak berubah. Oleh karena itu, untuk
mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada kondisi awalnya dengan
mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui janji”. Pada waktu
pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru, tetapi karena
mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan untuk
memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.
Perdebatan
tentang Pembatasan Bid’ah, Khurafat, Takhayyul, dan
Gagasan Baru.
Gerakan pembaharuan yang kemudian populer dengan sebutan
gerakan Wahabi ini menggoyang pendulum reformisme Islam ke titik ekstem; fundamentalisme Islam
radikal. Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama dengan kepala kabilah local di
Nejd, Ibnu Sa’ud (w.1765) untuk melancarkan jihad terhadap kaum muslimin yang
dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam, banyak mempraktikkan bid’ah,
khurafat, dan takhayyul. Dalam upayanya melakuakan purifikasi tauhid, mereka tidak
segan-segan menempuh jalan kekerasan, dengan melakukan penumpahan darah dan
penjarahan terhadap kota Makah dan Madinah, yang diikuti dengan pemusnahan
monument-monumen historis yang mereka pandang sebagai medium bagi
praktik-praktik yang menyimpang itu.[21]
Dalam pandangan kaum wahabi, selain tradisi lokal yang penuh
bid’ah, kemunduran Islam juga disebabkan oleh praktik tasawuf atau mistisisme.
Secara religius tasawuf dituduh sebagai sumber bid’ah, khurafat, dan takhayul,
sementara secara sosial, tasawuf disalahkan karena dianggap telah menarik massa
muslim kea rah “kepasifan” dan penarikan diri ( uzlah) dari permasalahan
duniawi. Ia dianggap telah mendorong sikap pelarian diri (escapism) dari
kemunduran ekonomi dan politik masyarakat muslim. Akibatnya, masyarakat muslim
tidak berhasil berpacu dengan dunia barat yang kian maju, yang sejak awal abad
XVII M. Semakin mengacaukan Negara-negara Islam (Dar al-Islam).
Gerakan pembaharuan muncul di Indonesia pada abad XVIII M.,
yakni ketika tiga ulama Minangkabau kembali dari tanah suci. Mereka adalah haji
Miskin ddari Pandaisikat Luhak Agam, haji Sumanik dari Luhak Tanah datar, dan
haji Piobang dari luhak Limapuluh.. Paham dan ajaran agama yang mereka sebarkan
mengikuti pola gerakan Wahabi Yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Maksud utama dari gerakan Padri yang disebarkan oleh ketiga ulama
tersebut, terutama adalah untuk membersihkan masyarakat Minangkabau dari adat
buruk Jahiliah yang sering mereka lakukan, seperti menyambung ayam, minum arak,
dan perang batu antarkampung.Ajaran yang dibawa ini mendapat sambutan hangat
dari delapan ulama terkemuka di Luhak Agam yang dipelopori oleh Tuanku Nan
Renceh.
Akan tetapi, gerakan Padri ini memicu konflik yang tajam
ditengah-tengah masyarakat. Sebab, gerakan ini menolak ide keselarasan dan
harmonisasi antara adat dan Islam. Dalam melakukan gerakan purifikasi
(pembaharuan), mereka tidak hanya menyebarkan ajaran Islam yang dianggap murni,
tetapi mereka juga mengutuk dan menyerang praktik-praktik keagamaan tradisional
yang menurut mereka banyak dicampuri bid’ah dan bertentangan dengan syara’.
Mereka bahkan menuntut agar syara’ditempatkan diatas segala hukum
lainnya. Tindakan kaum Padri ini jelas merusak seluruh konsepsi alam
Minangkabau sehingga menyebabkan timbulnya konflik yang berkelanjutan dalam
bentuk perang fisik.[22]
Kita dapat melihat bahwa sistem pengetahuan umat Islam di
Indonesia dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode paleoteknik atau
periode agraris, dan periode neoteknik atau periode industrial. Pada periode
pertama, alam pikiran umat Islam di Indonesia sevara umum bercorak mistis dan
magis. Ditengah-tengah pembatas semacam inilah perkembangan pemikiran Islam
dalam masyarkat agraris mempunyai corak yang sangat khas. Kendatipun mereka
dibekali ajaran agama yang sesungguhnya sangat mengutamakan akal dan ilmu
pengetahuan, pemikiran mereka kebanyakan bersifat mitis dan magis. Bukti-bukti
banyak menunjukkan bahwa di lingkungan-lingkungan yang Islamnya dikenal kuat
pun, alam pikiran magis dan mitis sangat dominan. Kita melihat misalnya betapa
populernya tradisi manaqib yang menceritakan keajaiban-keajaiban Syekh
Abdul Qadir Jailani pendiri tarekat Qadiriyah itu. Demikian juga dalam buku
yang berjudul Mujarobat, yaitu sebuah buku yang cukup popular dikalangan
pesantren, banyak sekali ditemukan ilmu pengobatan yang sangat aneh- misalnya
dengan minum segelas air yang di dalamnya dimasukkan kertas-kertas bertuliskan
ayat-ayat Al-Qur’an. Kita juga melihat dikeramatkannya para kiai yang dianggap
dapat memberikan berkah karena kesaktian atau bersifat suprahuman.[23]
Bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang rasional, system
pengetahuan umat dalam alam pikiran magis dan mitis mengandung unsur-unsur bid’ah
dan khurafat. Berdasar pada sisitem pengetahuan semacam itulah
masyarakat Islam agraris cenderung menjadi statis dan beku.
Menghadapi zaman baru, yaitu masyarakat industrial yang
memiliki system pengetahuan rasional dan teknologi baru, tentu saja pikiran
yang penuh bid’ah, khurafat, dan takhayul itu tak dapat bertahan. Memang
di dunia Islam sendiri, usaha untuk melakukan pemurnian ajaran-ajaran agama
Islam dari pikiran-pikiran mitis dan magi situ telah dimulai pada awal abad
XIX.Di Indonesia sendiri, gerakan-gerakanpembaharuan seperti Muhammadiyah,
Persis, dan gerakan-gerakan lain yang tumbuh pada awal abad XX, berusaha untuk
memurnikan ajaran Islam dari beban-benban cultural agama yang berupa pemikiran takhayul,
khurafat, dan bida’ah. Gerakan pembaruan pada fase yang pertama ini menjadi
persiapan awal agar umat Islam dapat berfikir secara lebih rasional untuk
menyambut datangnya masyarakat industrial dengan tingkat teknologi yang tinggi.
Dalam konteks penghadapan terhadap datangnya masyarakat industrial inilah, umat
Islam Indonesia memasuki periode kedua, yaitu zaman neoteknik.[24]
BAB III
PENUTUP
a) Kesimpulan
Pemurnian dalam Islam terjadi karena telah tercampurnya
budaya lokal dengan syariat Islam yang pada mulanya diperkenalkan oleh para
penyebar Islam abad 14 di Indonesia yang mana masyarakat waktu itu penganut
Hindu dan Budha. Ketika memasuki abad 19-20 warisan budaya ini tentu tidak
membawa perubahan dalam kemajuan Islam. Selanjutnya, praktek-praktek seperti
ini di pandang sebagai bid'ah karena tidak memiliki dasar dalil dari al Qur’an
maupun hadits. Dengan lahirnya pemurnian/pembaruan Islam, maka akan membuka
peluang kemajuan bagi bangsa Indonesia yang sudah bermayoritaskan agama Islam.
Hal ini terjadi karena gerakan-gerakan pemikiran baru memiliki kelebihan akal sehingga
mampu direalisasikan dalam kehidupan.
b) Saran dan Kritik
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun dengan
makalah yang kami buat, mungkin masih banyak kekurangannya. Maka, kami
mengharapkan bimbingan kepada Bpk. Dosen serta koreksian dari teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam, penerbit Gaya Media
Pratama: Jakarta, cet. I, th 2005.
__________, Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, penerbit Raja
Grafindo Persada: Jakarta, cet. 3, th. 2005.
Deliar Noer Prof. DR., Gerakan Modern Islam di Indonesia, penerbit
LP3ES: Jakarta, cet. III, th 1985.
Haiban Hadjid KRH, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran dan 17
Kelompok Ayat Al-Qur`an, penerbit LPI PPM: Yogyakarta, cet. III, th 2008.
Hamdan Hambali Drs. H., Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, penerbit
Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. IV, th 2008.
Malik Fadjar, Prof. Drs. HA. MSc. dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah
Suatu Keniscayaan, penerbit Pustaka Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. I,
th 2003.
Margono Poespo Suwarno, Drs., Gerakan Islam Muhammadiyah, Penerbit
Persatuan Baru: Yogyakarta, Cet. V, th 2005 M.
Nasution Harun, Pembaharuan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I
Rohimin, dkk., Harmonisasi Agama dan Budaya, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,2009)
Sa’ad Busthami, Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis
dan Pembaharuan Agama visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987,
Samsul Nizar, DR. H. MA., Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan Historis
Teoritis, penerbit Ciputat Press: Jakarta, cet. I, th 2002.
Truna. Doni S dan Ropi Ismantu.Pranata Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2002)
[1] Truna.Doni S
dan Ropi Ismantu.Pranata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,2002)hal 32
[2]
Rohimin, dkk.,
Harmonisasi Agama dan Budaya, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta,2009), h.3-4
[3]
Artikel ini diakses pada 29 April
2015, http://www.dakwatuna.com/2012/12/11/25136/hubungan-budaya-dan-agama-dalam-islam/#ixzz3YgCcC7bq.
[4] Lihat, Abi al-Husain
Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’zam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr li
al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Bairut, 1979, juz I, hlm. 306
[5] Lihat, Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’ad, Reaktualisasi
Ajaran Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi
Salaf), Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I, hlm. 11
[7] Pernyataan al-Qumi
diatas dikutip oleh, Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi
Syarh al-Jami’ al-Shagir, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, hlm. 52
[8] Pernyataan al-Qari
tersebut diatas dikutip oleh, Abi Thayyib Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi,
‘Aun al-Ba’dud Syarh Sunnah Abi Dawud, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, Juz
XI, hlm. 396.
[12] Syekh
Muhammad Jamil Jambek (lahir di Bukittinggi, Hindia Belanda, 1862
atau 1860 - meninggal di Bukittinggi, 30 Desember 1947 pada umur 85 atau 87)[1] adalah seorang ulama pelopor pembaruan Islam dari Minangkabau pada
awal abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka.[2]
[13] Abdullah
Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Padang, 1933 pada
umur 55 tahun) adalah seorang ulama reformis yang
turut membidani lahirnya perguruan Sumatera
Thawalib di Sumatera Barat. Ia merupakan anak dari Haji Ahmad
[14] Dr. Haji Abdul
Karim Amrullah (lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera
Barat, 10
Februari 1879 – meninggal
di Jakarta, 2
Juni 1945 pada umur 66
tahun), dijuluki sebagai Haji Rasul, adalah ulama terkemuka sekaligus
reformis Islam di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatera
Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia
[15]
http://rizkanaya.blogspot.com/2011/04/kaum-muda-dan-pembaharuan-islam-di.html
[18]
DR. H. Samsul Nizar, MA., Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan Historis
Teoritis, penerbit Ciputat Press: Jakarta, cet. I, th 2002, hlm 100.
[21] Al-Zastrouw
Ng. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:LKS
Yogyakarta, 2006), h. 62
[23]
Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 466
No comments:
Post a Comment