Social Icons

Pages

Thursday, 13 December 2018

MAKALAH : GERAKAN ISLAM MODERN DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

Gerakan pembaharuan islam, pada awalnya muncul sebagai intellectual terhadap berbagai bentuk penyimpangan dalam pemahaman maupun pengamalan Islam dikalangan masyarakat. Menurut ulama kaum muda, penyimpanagan yang telah lama berurat akar itu disebabkan oleh begitu kuatnya otoritas keagamaan yang semata-mata dipegang oleh ulama sehingga umat tidak punya pilihan lain kecuali mengikutinya tanpa taqlid. Pada gilirannya, corak keberagamaan yang seperti ini bukan hanya menyebabkan  terabaikannya persoalan sejauh mana pemahaman dan pengamalan itu benar-benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tapi lebih dari itu, tidak akan dapat memfungsikan islam sebagai pendorong kemajuan umatnya. Fenomena keberagaman yang seperti inilah yang mendorong terjadinya reorientasi pemahaman keagamaan masyarakat dengan melalui ijtihad meruju’ langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah dan atas dasar itu membersihkan pemahaman agama umat dari segala bentuk penyimpangan yang sudah lama ada.[1]
Kendati pada awalnya merupakan gerakan intelektual, gerakan pemurnian yang dilakukan ternyata menimbulkan implikasi social yang hebat dengan munculnya berbagai bentuk konflik di masyarakat yang sebelumnya tidak ada. Sebagai puncak dari konflik tersebuat adalah pecahnya masyarakat. Seperti yang terjadi di Minangkabau. Karena bagi masyarakat minangkabau, Islam bukan sekedar agama dan sumber identitas saja. Tetapi juga menjadi salah satu pilar penting selain adat yang membentuk struktur social masyarakat minangkabau.
BAB II
PEMBAHASAN

Integrasi Pemahaman Aqidah dengan Budaya
Agama Islam menyebar pada komunitas yang umumnya telah memiliki tradisi atau adat istiadat yang sudah berakar dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Islam ketika berhadapan dengan adat yang sudah mapan dituntut menunjukan kearifannya. Islam dalam realitasnya mampu menampakkan kearifannya, yang ditandai dengan pendekatan dakwah secara damai dan bertahap atau pelan-pelan, bukan sebaliknya dengan cara frontal.
Berangkat dari cara seperti itu menjadikan masuknya Islam di Nusantara ini tidak banyak mendapatkan hambatan dan rintangan. Hal ini terutama disebabkan oleh perwajahan Islam sebagai sosok ajaran yang akomodif, dinamis, dan melindungi tradisi yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia pra Islam.[2]
Dalam perkembanagannya Islam tidak dapat dipisahkan dengan budaya, bahkan Islam merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya. Namun, apakah pengertian budaya dan bagaimana Islam memandangnya? Budaya adalah kelakuan yang berlaku pada masyarkat dan lingkungan tertentu. Dahulu kebiasaan memberikan makanan untuk berhala adalah budaya dikalangan masyarkat jahiliyah Arab. Namun, setelah Rasul datang beliau mengubah kebiasaan jahiliyah tersebut, dan menggantikannya dengan ajaran Islam. Misalnya kebiasaan memberikan makanan untuk berhala, diganti beliau dengan mengajarkan bersedekah. Begitu pula pada generasi berikutnya, wali Sembilan di Jawa misalnya. Para wali mengubah kebiasaan atau budaya masyarakat pada saat itu, dan menggantinya dengan kegiatan yang bernilai ibadah.
Misalnya, sekatenan. Sekaten adalah sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Para pengunjung sekatenan yang menyatakan ingin “ngrasuk” agama Islam setelah mengikuti kegiatan syiar agama Islam tersebut, dituntun untuk mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat (syahadatain). Dalam pengamalannya Islam tidak membumi hanguskan semua budaya tersebut. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dan budaya. Di mana budaya menjadi sebuah metode/alat untuk menyampaikan Islam.[3]
Setiap masyarakat mempunyai tradisi yang turun-temurun dilakuakan masyarakat, meskipun kadang-kadang tidak semua masyarakat mengerti tentang apa yang dilakukan nenek moyangnya. Nilai-nilai budaya dan adat istiadat tersebut jika dilihat dari kacamata Islam maka akan tidak dapati sebagian dari amal atau praktek budayanya bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran, dipihak lain juga terdapat sebagai ritual ibadah maupun praktek sosial mereka dibenarkan oleh syariat Islam.
  
Dinamika Pemahaman Pemurnian Islam
Islam semakin berkembang dan zaman pun silih berganti. Dari masa ke masa tiap kerajaan mengalami keruntuhan hingga masuklah pada era kolonialisme. Selama berabad-abad masyarakan Indonesia yang bernotabene muslim mengalami penindasan-penindasan, kemiskinan, kelaparan dan bahkan kebodohan. Hingga pada akhirnya timbulah pemahaman baru dalam Islam di mana perlu adanya pemurnian dalam ajarannya.  Pembaruan atau pemurnian secara etimologi bahasa Arab  berakar pada kata (جديد ), yang menunjukan kepada tiga arti pokok :
(1) keagungan,
(2) bahagian,
(3) pegangan.
Kata ini kemudian berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui” sebagai lawan dari usang.[4] Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni :  
(1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami orang lain;
(2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman;
(3) barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru.[5]
Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata pembaharuan, modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam ”aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.[6] Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.
Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Quran dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut.[7] Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[8] Prof. Dr. H. Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[9] Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang munkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.[10] Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang teradapat di dalam al Quran dan as Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki al Quran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.[11]
Dengan demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.

      Contoh-contohnya :
Alquran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai sebagai suatu keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan yang berbeda. Sebagian besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup dalam keadaan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka dan lain sebagainya.
Sikap dan pandangan hidup seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Al-Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Alquran dan Al-Sunnah.
Untuk memperluas pembahasan ini, kami mencoba menampilkan beberapa tokoh yang memiliki dasar pemikiran pemurnian dalam Islam.
a.      Tiga ulama Sumatra
Adapun  tiga ulama yang dimaksud ialah Syeikh Muhammad Djamil Djambek[12] (yang tertua), Syeikh ‘Abdullah Ahmad[13] dan Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah[14]. Syeikh ‘Abdullah Ahmad menetap di kota Padang dan beliau sendirilah yang mengepalai penerbitan “Al-Munir”. Syeikh Djamil Djambek ahli falak dan beliaulah yang mula-mula menyatakan pendapat bahwa memulai dan menutup puasa Ramadhan boleh dengan memakai hisab dan beliau amat ahli memikat hati orang supaya kuat beribadah dan membantah keras kepercayaan-kepercayaan yang salah tentang tasawuf. Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dia menyatakan dengan terang-terangan dalam satu bukunya bahwa beliau membantah faham yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader- kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum. Dan Syeikh ‘Abdullah Ahmad adalah seorang pengarang dan wartawan, yang dengan penanya dapat menyiarkan fahamnya, bukan saja kepada orang kampung, bahkan dalam kalangan orang-orang yang berpendidikan barat.
Didalam “Al-Munir” itulah Syeikh Abdul Karim Amrullah menjawab segala soal   yang   berkenaan   dengan   hukum-hukum   agama   dan   menyatakan fatwanya yang mulai kelihatan perbedaannya dengan faham-faham yang biasa. Adapun kegoncangan yang pertama timbul ialah setelah keluar buku “Al- Fawaid Al-‘Aliyyah” yang dikhususkannya untuk menyatakan bahwa melafalkan  niat  “ushalli”  dipermulaan  sembahyang  itu  tidaklah  berasal daripada Rasul, dan tidak diperbuat oleh sahabat-sahabatnya dan tidak pula oleh Imam-Imam madzhab yang empat.
Selain dari itu, mulailah mereka mengubah Khutbah Jum’at. Selama ini khutbah Jum’at hanya dalam bahasa ‘Arab saja. Yang lebih dahulu tidak faham adalah khatibnya  sendiri  sebelum  orang  yang  mendengar.  Mereka mengeluarkan fatwa bahwa boleh khutah dalam bahasa yang difaham oleh umat di tempat itu, dan kalau yang memakai bahasa ‘Arab juga cukuplah rukun-rukunya saja, supaya ada faedah bagi khutbah itu yang bermaksud memberi petunjuk dan ajaran kepada kaum Muslimin.
Atas pemikiran mereka, timbullah reaksi daripada `Ulama yang bertahan pada yang lama. Dan reaksi itu amat hebat. `Abdul Karim Amrullah dan kawan-kawannya dituduh telah keluar dari Mazhab, bahkan telah talfiq dalam mazhab, sebab memakai alasan dari kitab Zadul Ma`ad, karangan Ibnul Qayyim, yang bukan seorang `Ulama Mazhab Syafi'i, tetapi bermazhab Hanbali dan banyak pula fatwanya yang disalahkan oleh `Ulama dizamannya. Dan apabila telah talfiq dalam mazhab, niscaya keluarlah dia dari Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Untuk  itu,  mereka  menerbitkan  pula  satu  majalah  bernama  “Al-Mizan". Mereka menamakan diri mereka “Kaum Tua" yang setia memegang Mazhab dan menggelari 'Ulama Angkatan Baru itu “Kaum Muda" yang keluar dari Mazhab.[15]
Selain tiga ulama diatas, muncul pula ulama lain yang sepaham, diantaranya : Syekh Muhammad Thaib Tanjung Sungayang, Syekh 'Abdullatif Rasyid dan saudaranya Syekh Daud Rasyid Balingka, Syekh 'Abbas 'Abdullah dan saudaranya Syekh Mustafa 'Abdullah Padang Japang, Syekh   'Abdurrasjid Maninjau, Tuanku Laut Lintau, Syekh  Ibrahim bin Musa Parabek. Yang satu inilah yang sekarang masih hidup. Beliau-beliau itu menerima murid-murid belajar pada pondoknya masing- masing. Maka negeri-negeri Padang Panjang, Bukittinggi, Parabek, Padang Japang, Tanjung Sungayang, penuhlah dengan murid-murid yang belajar agama yang mulai memakai susunan cara baru. Seluruh madrasah itu pada tahun 1918 digabungkan dalam satu organisasi bernama “Sumatera Thawalib".
b.     K.H. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.[16]
Menurut Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.[17] Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait dengan lembaga pendidikan: Landasan Pendidikan, Tujuan Pendidikan, Materi pendidikan, Model Mengajar,  Ijtihad Sistem Pengajaran.[18]
c.      Harun Nasution
Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud  seperti diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide pemabaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang teradapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan.[19]
Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalism) diganti dengan paham qadariah (free will dan free act), perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Alquran tidak bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.[20] Beberapa ajaran Islam (bidang muamalah) pada masa awal perkembangannya juga berada dalam kondisi aktual. Tetapi, dengan terjadinya pergeseran situasi dan kondisi, maka ajaran-ajaran itu telah banyak berubah. Oleh karena itu, untuk mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada kondisi awalnya dengan mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui janji”. Pada waktu pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru, tetapi karena mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan untuk memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.

Perdebatan tentang Pembatasan Bid’ah, Khurafat, Takhayyul, dan Gagasan Baru.
Gerakan pembaharuan yang kemudian populer dengan sebutan gerakan Wahabi ini menggoyang pendulum reformisme  Islam ke titik ekstem; fundamentalisme Islam radikal. Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama dengan kepala kabilah local di Nejd, Ibnu Sa’ud (w.1765) untuk melancarkan jihad terhadap kaum muslimin yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam, banyak mempraktikkan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Dalam upayanya melakuakan purifikasi tauhid, mereka tidak segan-segan menempuh jalan kekerasan, dengan melakukan penumpahan darah dan penjarahan terhadap kota Makah dan Madinah, yang diikuti dengan pemusnahan monument-monumen historis yang mereka pandang sebagai medium bagi praktik-praktik yang menyimpang itu.[21]
Dalam pandangan kaum wahabi, selain tradisi lokal yang penuh bid’ah, kemunduran Islam juga disebabkan oleh praktik tasawuf atau mistisisme. Secara religius tasawuf dituduh sebagai sumber bid’ah, khurafat, dan takhayul, sementara secara sosial, tasawuf disalahkan karena dianggap telah menarik massa muslim kea rah “kepasifan” dan penarikan diri ( uzlah) dari permasalahan duniawi. Ia dianggap telah mendorong sikap pelarian diri (escapism) dari kemunduran ekonomi dan politik masyarakat muslim. Akibatnya, masyarakat muslim tidak berhasil berpacu dengan dunia barat yang kian maju, yang sejak awal abad XVII M. Semakin mengacaukan Negara-negara Islam (Dar al-Islam).
Gerakan pembaharuan muncul di Indonesia pada abad XVIII M., yakni ketika tiga ulama Minangkabau kembali dari tanah suci. Mereka adalah haji Miskin ddari Pandaisikat Luhak Agam, haji Sumanik dari Luhak Tanah datar, dan haji Piobang dari luhak Limapuluh.. Paham dan ajaran agama yang mereka sebarkan mengikuti pola gerakan Wahabi Yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maksud utama dari gerakan Padri yang disebarkan oleh ketiga ulama tersebut, terutama adalah untuk membersihkan masyarakat Minangkabau dari adat buruk Jahiliah yang sering mereka lakukan, seperti menyambung ayam, minum arak, dan perang batu antarkampung.Ajaran yang dibawa ini mendapat sambutan hangat dari delapan ulama terkemuka di Luhak Agam yang dipelopori oleh Tuanku Nan Renceh.
Akan tetapi, gerakan Padri ini memicu konflik yang tajam ditengah-tengah masyarakat. Sebab, gerakan ini menolak ide keselarasan dan harmonisasi antara adat dan Islam. Dalam melakukan gerakan purifikasi (pembaharuan), mereka tidak hanya menyebarkan ajaran Islam yang dianggap murni, tetapi mereka juga mengutuk dan menyerang praktik-praktik keagamaan tradisional yang menurut mereka banyak dicampuri bid’ah dan bertentangan dengan syara’. Mereka bahkan menuntut agar syara’ditempatkan diatas segala hukum lainnya. Tindakan kaum Padri ini jelas merusak seluruh konsepsi alam Minangkabau sehingga menyebabkan timbulnya konflik yang berkelanjutan dalam bentuk perang fisik.[22]
Kita dapat melihat bahwa sistem pengetahuan umat Islam di Indonesia dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode paleoteknik atau periode agraris, dan periode neoteknik atau periode industrial. Pada periode pertama, alam pikiran umat Islam di Indonesia sevara umum bercorak mistis dan magis. Ditengah-tengah pembatas semacam inilah perkembangan pemikiran Islam dalam masyarkat agraris mempunyai corak yang sangat khas. Kendatipun mereka dibekali ajaran agama yang sesungguhnya sangat mengutamakan akal dan ilmu pengetahuan, pemikiran mereka kebanyakan bersifat mitis dan magis. Bukti-bukti banyak menunjukkan bahwa di lingkungan-lingkungan yang Islamnya dikenal kuat pun, alam pikiran magis dan mitis sangat dominan. Kita melihat misalnya betapa populernya tradisi manaqib yang menceritakan keajaiban-keajaiban Syekh Abdul Qadir Jailani pendiri tarekat Qadiriyah itu. Demikian juga dalam buku yang berjudul Mujarobat, yaitu sebuah buku yang cukup popular dikalangan pesantren, banyak sekali ditemukan ilmu pengobatan yang sangat aneh- misalnya dengan minum segelas air yang di dalamnya dimasukkan kertas-kertas bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an. Kita juga melihat dikeramatkannya para kiai yang dianggap dapat memberikan berkah karena kesaktian atau bersifat suprahuman.[23]
Bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang rasional, system pengetahuan umat dalam alam pikiran magis dan mitis mengandung unsur-unsur bid’ah dan khurafat. Berdasar pada sisitem pengetahuan semacam itulah masyarakat Islam agraris cenderung menjadi statis dan beku.
Menghadapi zaman baru, yaitu masyarakat industrial yang memiliki system pengetahuan rasional dan teknologi baru, tentu saja pikiran yang penuh bid’ah, khurafat, dan takhayul itu tak dapat bertahan. Memang di dunia Islam sendiri, usaha untuk melakukan pemurnian ajaran-ajaran agama Islam dari pikiran-pikiran mitis dan magi situ telah dimulai pada awal abad XIX.Di Indonesia sendiri, gerakan-gerakanpembaharuan seperti Muhammadiyah, Persis, dan gerakan-gerakan lain yang tumbuh pada awal abad XX, berusaha untuk memurnikan ajaran Islam dari beban-benban cultural agama yang berupa pemikiran takhayul, khurafat, dan bida’ah. Gerakan pembaruan pada fase yang pertama ini menjadi persiapan awal agar umat Islam dapat berfikir secara lebih rasional untuk menyambut datangnya masyarakat industrial dengan tingkat teknologi yang tinggi. Dalam konteks penghadapan terhadap datangnya masyarakat industrial inilah, umat Islam Indonesia memasuki periode kedua, yaitu zaman neoteknik.[24]

BAB III
PENUTUP
a)     Kesimpulan
Pemurnian dalam Islam terjadi karena telah tercampurnya budaya lokal dengan syariat Islam yang pada mulanya diperkenalkan oleh para penyebar Islam abad 14 di Indonesia yang mana masyarakat waktu itu penganut Hindu dan Budha. Ketika memasuki abad 19-20 warisan budaya ini tentu tidak membawa perubahan dalam kemajuan Islam. Selanjutnya, praktek-praktek seperti ini di pandang sebagai bid'ah karena tidak memiliki dasar dalil dari al Qur’an maupun hadits. Dengan lahirnya pemurnian/pembaruan Islam, maka akan membuka peluang kemajuan bagi bangsa Indonesia yang sudah bermayoritaskan agama Islam. Hal ini terjadi karena gerakan-gerakan pemikiran baru memiliki kelebihan akal sehingga mampu direalisasikan dalam kehidupan.
b)     Saran dan Kritik
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun dengan makalah yang kami buat, mungkin masih banyak kekurangannya. Maka, kami mengharapkan bimbingan kepada Bpk. Dosen serta koreksian dari teman semua.





DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam, penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, cet. I, th 2005.
__________, Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, penerbit Raja Grafindo Persada: Jakarta, cet. 3, th. 2005.
Deliar Noer Prof. DR., Gerakan Modern Islam di Indonesia, penerbit LP3ES: Jakarta, cet. III, th 1985.
Haiban Hadjid KRH, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur`an, penerbit LPI PPM: Yogyakarta, cet. III, th 2008.
Hamdan Hambali Drs. H., Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, penerbit Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. IV, th 2008.
Malik Fadjar, Prof. Drs. HA. MSc. dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, penerbit Pustaka Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. I, th 2003.
Margono Poespo Suwarno, Drs., Gerakan Islam Muhammadiyah, Penerbit Persatuan Baru: Yogyakarta, Cet. V, th 2005 M.
Nasution Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan  Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I
Rohimin, dkk., Harmonisasi Agama dan Budaya, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,2009)
Sa’ad  Busthami, Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987,
Samsul Nizar, DR. H. MA., Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan Historis Teoritis, penerbit Ciputat Press: Jakarta, cet. I, th 2002.
Truna. Doni S dan Ropi Ismantu.Pranata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2002)



[1] Truna.Doni S dan Ropi Ismantu.Pranata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2002)hal 32
[2] Rohimin, dkk., Harmonisasi Agama dan Budaya, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,2009), h.3-4
[4] Lihat, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’zam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Bairut, 1979, juz I, hlm. 306
[5] Lihat, Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’ad, Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan  Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I, hlm. 11
[7] Pernyataan al-Qumi diatas dikutip oleh, Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, hlm. 52
[8] Pernyataan al-Qari tersebut diatas dikutip oleh, Abi Thayyib Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ba’dud Syarh Sunnah Abi Dawud, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, Juz XI, hlm. 396.
[9] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 10
[10] Abuddin  Nata, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 379
[11] Ibid.
[12] Syekh Muhammad Jamil Jambek (lahir di Bukittinggi, Hindia Belanda, 1862 atau 1860 - meninggal di Bukittinggi, 30 Desember 1947 pada umur 85 atau 87)[1] adalah seorang ulama pelopor pembaruan Islam dari Minangkabau pada awal abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka.[2]
[13] Abdullah Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Padang, 1933 pada umur 55 tahun) adalah seorang ulama reformis yang turut membidani lahirnya perguruan Sumatera Thawalib di Sumatera Barat. Ia merupakan anak dari Haji Ahmad
[14] Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879 – meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada umur 66 tahun), dijuluki sebagai Haji Rasul, adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia
[15] http://rizkanaya.blogspot.com/2011/04/kaum-muda-dan-pembaharuan-islam-di.html
[18] DR. H. Samsul Nizar, MA., Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan Historis Teoritis, penerbit Ciputat Press: Jakarta, cet. I, th 2002, hlm 100.
[19] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 57
[20] Ibid., hlm. 172                                    
[21] Al-Zastrouw Ng. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta:LKS Yogyakarta, 2006), h. 62
[22] Al-Zastrouw Ng. Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, h. 52
[23] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 466   
[24] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,h. 469

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates